Aksi Bancakan Keistimewaan, Refleksi Peringatan 9 Tahun Keistimewaan DIY, di Kawasan Titik Nol KM Yogyakarta, Selasa (31/8/2021). (dok. jubir fwy)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Forum Warga Yogyakarta (FWY) menilai, penerapan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY masih jauh panggang dari api. Penilai tersebut sebagaimana disampaikan FWY saat menggelar aksi Bancakan Keistimewaan, Refleksi Peringatan 9 Tahun Keistimewaan DIY, di Kawasan Titik Nol KM Yogyakarta, Selasa (31/8/2021).
“Dalam perjalanannya, praktik penerapan UU Keistimewaan DIY malah jauh dari yang diharapkan,” kata Juru Bicara FWY, Dinta Yuliant Sukma dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com.
Pihaknya berpendapat bahwa semestinya, keistimewaan yang diberikan pemerintah pusat bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat DIY, melalui pengoptimalan peran dan potensi sumber daya yang seluas-luasnya oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Mengingat, dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 itu, Pemda DIY memiliki kewenangan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnyq dalam hal tata cara pengisian jabatan, kedudukan, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan pemerintahan daerah, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.
Namun, Dinta menyayagkan, pengesahan UUK DIY justru digunakan oleh Pemda untuk mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya ditempati oleh rakyat Yogyakarta dan peruntukkan lainnya, dengan dalih untuk menjaga dan mengembangkan kebudayaan.
“UU Keistimewaan secara tidak langsung melegitimasi kembali lahan eks-swapraja yang membentang luas di seluruh wilayah DIY,” sesalnya. Termasuk, tanah kas desa yang selama ini menjadi sumber pendapatan desa.
Selain itu, lanjut Dinta, di masa pandemi Covid-19 ini, peran Kestimewaan DIY juga sangat diharapkan oleh masyarakat, khususnya para pelaku usaha kecil, PKL, dan pekerja sektor informal. Salah satu harapannya agar Dana Keistimewaan (Danais) dapat dialokasikan untuk Bantuan Sosial (Bansos) Tunai bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Hanya saja, pos anggaran Danais justru lebih banyak untuk pembangunan infrastruktur yang bernilai besar.
Berdasarkan catatan Jogja Corruption Watch (JCW), sebut Dinta, sejauh ini Danais justru digunakan untuk membangun pagar di Alun-Alun Utara sebesar Rp 2,3 miliar, dan tembok benteng Keraton senilai Rp 4,8 miliar. Selain itu juga untuk pembelian Hotel Mutiara Rp 170 miliar, pengadaan tanah bekas kampus STIE Kerjasama Rp 150 miliar, serta pembangunan jembatan Lemah Abang Rp 60 miliar ,dan kamar mandi bawah tanah di depan Bank Indonesia Jalan Senopati Yogyaakarta sebanyak Rp 5,7 miliar. Ditambah lagi dengan royek revitalisasi Masjid Gede Keraton, pengecatan Panggung Krapyak dan lain-lain.
“Kesannya Pemda DIY tidak memiliki rasa empati terhadap rakyatnya sendiri yang tengah mengalami masa – masa sulit,” anggapnya.
Sedangkan program bantuan hibah koperasi yang diberikan Pemda DIY, sambung Dinta, aksesibilitas dan efektifitasnya juga masih dipertanyakan.
“Dalam pelaksanaannya, hibah koperasi tersebut diberikan kepada anggota dalam bentuk pinjaman, bukan bantuan sosial tunai. Padahal, masyarakat membutuhkan Bansos tunai sebagai alat pemenuhan hidup sehari-hari,”
Untuk itu pada kesempatan tersebut, FWY mendesak agar Pemda DIY menangani Pandemi Covid-19 sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan; memberikan Bansos Tunai yang mudah diakses oleh seluruh kalangan masyarakat terdampak Pandemi; serta mengalokasikan Dana Keistimewaan DIY untuk Bantuan Sosial Tunai bagi masyarakat pelaku usaha kecil, PKL dan pekerja informal di Yogyakarta. (Ed-01)