Diskusi publik FAAPPMI bekerjasama dengan DEMPOL Institute berjudul “Hambatan, Tantangan dan Prospek Ekonomi Indonesia” di Hongkong Cafe, Jakarta, 31 Oktober 2018. (dok. istimewa)
JAKARTA (kabarkota.com) – Kepala Departemen Ekonomi di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damari menyebut, musuh atau rival kepemimpinan nasional bukan sosok kandidat Calon Presiden (Capres) 2019, melainkan situasi ekonomi saat ini.
Hal tersebut disampaikan Yose, dalam diskusi publik FAAPPMI bekerjasama dengan DEMPOL Institute berjudul “Hambatan, Tantangan dan Prospek Ekonomi Indonesia” di Hongkong Cafe, Jakarta, 31 Oktober 2018.
“Butuh ratusan variabel untuk menilai apakah kebijakan perekonomian sekarang sudah tepat,” ucapnya.
Menjelang Pileg-Pilpres 2019, lanjutnya, political capital cukup tinggi, namun pemilih juga bisa terpengaruh dengan situasi perekonomian. Meskipun tingkat inflasi Indonesia rendah, namun jika dibandingkan dengan negara lain, nampaknya masih ada yang lebih rendah.
“Hambatan yang menghadang pertumbuhan ekonomi di tahun politik diantaranya potensi social disorder dan politik identitas, akibat tersendatnya implementasi reformasi struktural,” anggap Yose.
Pihaknya juga menambahkan, sejak Bulan Mei 2017, sudah tidak ada lagi paket kebijakan ekonomi yang baru, dan Presiden dalam satu setengah tahun terakhir banyak terfokus pada agenda politik.
“Singkatnya, apa yang menjadi pencapaian perekonomian saat ini, termasuk soal stabilitas perekonomian bukan menjadi jaminan atas tercapainya keadilan ekonomi,” tegasnya.
Dalam diskusi ekonomi-politik kali ini, turut hadir Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika yang menjelaskan tentang situasi makro ekonomi beserta pencapaian pertumbuhan perekonomian nasional dan pembangunan berkelanjutan di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Terkait soal reformasi struktural, menurut Erani, perlu lebih memperdalam serta terus menambah daya saing industri dan melakukan transformasi ekonomi secara cepat.
“Kita harus outward looking, komoditas yang punya nilai tambah harus diatur dengan baik,” tuturnya.
Tantangan ekonomi Indonesia ke depan, kata Erani, selain pendalaman reformasi struktural adalah pembangunan kualitas SDM, desain kelembagaan yang solid, konsistensi dan harmonisasi kebijakan, serta komitmen keberlanjutan dan kelestarian lingkungan.
“Komitmen pemerintah terkait isu kelestarian lingkungan hidup diwujudkan dengan penetapan kebijakan tentang bahan bakar nabati, khususnya minyak kelapa sawit, untuk menerapkan penggunaan energi ramah lingkungan. Menaikkan standar emisi dari Euro 2 menjadi Euro 4,” sebutnya.
Sedangkan terkait pertumbuhan makro ekonomi, Erani menggarisbawahi tren pertumbuhan yang terus menurun dari 2010-2014. Situasi perekonomian internasional memiliki andil pada tren penurunan ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia. Tren naik baru mulai sekitar 2016, Indonesia mengalami tren positif dari 4,9% menjadi 5,27%.
Guna menjawab persoalan keadilan ekonomi di tahun politik, Erani menambahkan tentang geliat pertumbuhan perekonomian perdesaan. Pencapaian fasilitas Kesehatan BPJS juga memiliki andil, memberikan insentif bagi tumbuhnya ekonomi desa.
“Ada kebijakan pemerintah di mana masyarakat dengan pendapatan di bawah 4,5 juta per bulan tidak kena pajak, artinya buruh dengan gaji UMP tidak dikenakan pajak,” ungkapnya.
Meski demikian pihaknya mengakui, di satu sisi perekonomian tumbuh, namun di sisi lain juga masih terdapat ketimpangan. Oleh karenanya, Erani menganggap, “tugas pemerintah jangka panjang adalah mengupayakan penegakan keadilan ekonomi dalam situasi apapun”.
Menanggapi pandangan bahwa Presiden hanya berfokus pada persoalan politik elektoral, Pilpres 2019, Erani menjelaskan, pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan di daerah, khususnya Papua untuk mewujudkan konektivitas di daerah, sehingga tak mementingkan elektabilitas. Mengingat, jumlah pemilih di Indonesia Timur tak sebanyak di Indonesia bagian Barat.
Sementara Agung Sedayu selaku Koordinator Presidium FAAPPMI berpendapat bahwa upaya pemerintah menegakkan keadilan ekonomi di tahun politik seharusnya beresonansi di tingkat akar rumput. “Jangan kemudian setelah implementasi di level paling bawah upaya pemerintah tersebut menjadi bias akibat problem komunikasi,” ujarnya.
Ditambahkan Agung, di tengah kemajuan teknologi informasi, media sosial harus bisa menjadi sumber informasi publik, bukan malah membiaskan informasi, bahkan memproduksi hoaks.
“Selain implementasi kebijakan, mekanisme pengawasan juga harus diperkuat, banyak peraturan tanpa pengawasan implementasi akan menyebabkan disinformasi publik,” tegasnya. (Ed-03)