Ilustrasi: Keraton Yogyakarta (dok.kemdikbud)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo yang merupakan adik dari Sri Sultan Hamengku Buwono X diberhentikan dari jabatan Panggedhe Kawedanan Hageng Punakawan Nityabudaya Keraton Yogyakarta.
Dalam surat yang ditandatangani atas nama Hamengku Bawono Ka-10 tertanggal 2 Desember 2020 tersebut, gusti Prabu digantikan oleh putri bungsu Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara yang sebelumnya memegang jabatan sebagai wakil Panggedhe Kawedanan Hageng Punakawan Nityabudaya Keraton Yogyakarta.
Menanggapi hal tersebut, gusti Prabu menganggap, pemberhentian tersebut tidak sah karena melanggar paugeran keraton. Padahal, Sultan yang bertahta di Keraton Yogyaakrta seharusnya bertindak sesuai dengan paugeran adat, undhang dan Undang-Undang Keistimewaaan (UUK) DIY.
“Kraton Yogyakarta , tidak mengenal nama (gelar) Bawono. Artinya, surat ini batal demi hukum,” tegas gusti Prabu, Rabu (20/1/2021).
Berdasarkan pasal 1 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, pada intinya menyebutkan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang selanjutnya disebut Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun, dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono.
Selain itu, gusti Prabu juga mempersoalkan penulisan nama yang keliru dalam surat pemberhentian tersebut. Pada bab II dari surat pemberhentian tersebut, naar yang seharusnya Prabukusumo, namun tertulis Prabukumo.
“Mungkin karena terlalu grogi sehingga menulis nama saya pun salah,” ucap gusti Prabu dalam bahasa Jawa.
Lebih dari itu, gusti Prabu mengklaim bahwa dirinya diangkat untuk menduduki jabatan tersebut oleh ayahnya, (alm.) Sultan Humengku Buwono IX, delapan Kawedanan, Bebadan, dan Tepas yang kemudian diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwono X. Meskipun sejak Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Sabda yang menurutnya melanggar paugeran, maka selama enam tahun terakhir dirinya tak aktif lagi di keraton. Tak hanya dirinya, namun juga putra-putri dari Sultan HB IX juga mengambil sikap yang sama.
Namun demikian, gusti Prabu mengaku tak akan mempermasalahkan keberatan tersebut ke ranah hukum. Meskipun dirinya merasa tak bersalah dalam hal ini. Mengingat, langkah ke ranah hukum justru akan mencemari nama baik Keraton Yogyakarta dan para pendirinya.
“Kalau sampai ada Sultan yang kena sanksi hukum, apalagi pidana, maka nama Keraton akan tercemar, karena apapun perbuatan seorang Sultan itu padati akan dicatat oleh rakyatnya,” ucap pria yang juga menjabat sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) DIY ini.
Surat Pemberhentian bukan Obyek Sengketa PTUN
Sementara Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Anang Zubaidy menerangkan bahwa surat pemberhentian terhadap adik Sultan tersebut bukan Keputusan Tata Usaha Negata (KTUN) sehingga tidak bisa menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mengingat, surat keputusan tersebut bukan dibuat oleh Badana taupun Pejabat Tata usaha Negara, melainkan lembaga adat, dalam hal ini keraton Yogyakarta.
“Berbeda halnya jika keputusan itu dibuat dan diterbitkan oleh gubernur. Karena jabatannya sebagai gubernur merupakan KTUN, maka bisa menjadi obyek sengketa di PTUN,” papar Anang.
Namun, lanjut Anang, jika yang dipersoalkan terkait gelar Hamengku Bawono ka 10 yang tidak sesuai dengan gelar yang tercantum dalam UUK DIY, maka hal tesebut bisa diajukan gugatan secara perdata, dnegan titel gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). (Rep-01)