Ketua LAKI, Rennta Chrisdiana saat memberikan sambutan dalam “Share Screen Volume II: Bingkai Rasa”, di Grhatama Pustaka Yogyakarta, pada 23 April 2024. (dok. kabarkota.com)
… kata bapak, aku suka membantah kan?
tapi bapak tahu, ini caraku bercerita kepada bapak?
Bapak yang tidak mau mendengarkan rasaku.
Apakah hanya bapak yang harus dimengerti?
Pak, lagu sore tentang bapak sengaja aku tulis
meski aku tahu bapak tidak akan mendengarnya
tolong, dengarkan ini, pak.
satu kalimat saja, pak, untuk bapak.
serenada ini aku lantunkan untuk menemani bapak yang semakin senja.
Itulah penggalan puisi yang dibacakan oleh Ahmad Wasil Mustofa sebagai pembuka film pendek berjudul Serenada yang diputar dalam “Share Screen Volume II: Bingkai Rasa”, di Grhatama Pustaka Yogyakarta, pada 23 April 2024.
Film berdurasi sekitar 20 menit ini menceritakan tentang ikatan hubungan anak bernama Lanang (Jamaluddin Nabil) dengan Bapak (Agung Cahyo) yang tidak terjalin harmonis. Bapak cenderung memaksakan kehendak agar Lanang menjadi seperti apa yang dicita-citakan ayahnya. Sementara Lanang merasa bahwa keinginan Bapak bukanlah keinginannya. Lanang memilih jalur musik, tetapi Bapak melarangnya. Akibatnya, konflik Lanang dan Bapak seringkali terjadi, dan bahkan berujung pada kekerasan fisik dan mental yang dialami oleh sang anak.
Sutradara film Serenada, Marcella menjelaskan, film tersebut dilatarbelakangi oleh maraknya kekerasan fisik dan psikis yang justru seringkali terjadi di lingkungan keluarga. Bahkan terkadang kekerasan itu tidak hanya mengganggu kesehatan fisik dan mental korban, tetapi juga mengancam keselamatannya.
“Film ini tidak sekadar memberikan hiburan tetapi juga menjadi refleksi dan edukasi bagi orang tua dan anak tentang bagaimana membangun hubungan yang baik,” jelas Marcella.
4 Film tentang Kesehatan Mental
Film Serenada ini hanyalah satu di antara empat film bertema kesehatan mental yang rilis oleh Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia (LAKI) yang berkolaborasi dengan Yayasan Rumpun Nurani dan Sineas Muda dari Cakra Visual guna mengkampanyekan urgensi kesehatan dan kesejahteraan jiwa, khususnya bagi para remaja. Tiga film lainnya, yakni film Diorama yang disutradarai oleh Dias Lorian Putra, Film Phytagoras yang digarap oleh sutradara Elsen Adiarta, dan Film Memoar karya sutradara Muhammad Alvian Yoga.
Ketua LAKI, Rennta Chrisdiana mengatakan, empat film tersebut dibuat karena adanya kekhawatiran terkait tingginya jumlah remaja yang mengalami gangguan kesehatan jiwa di Indonesia.
Berdasarkarn data Indonesian National Adolescentt Mental Health Survey, satu dari tiga remaja, atau setara dengan 15,5 juta memiliki satu gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Perubahan fisik, emosional dan sosial membuat remaja rentan mengalami gangguan kesehatan mental yang dapat berakibat hingga dewasa dan prilaku beresiko tinggi.
Rennta berpendapat bahwa dukungan orang dewasa di keluarga maupun sekolah serta keterlibatan dari para praktisi kesejahteraan mental menjadi upaya kunci preventif, kuratif maupun rehabilitatif untuk menyelamatkan generasi muda.
”Perlu upaya dan terobosan baru, serta kolaborasi nyata antara pemerintah, masyarakat, akademisi, media dan bisnis untuk melakukan perubahan dan peningkatan kesejahteraan jiwa remaja Indonesia” katanya.
Lebih lanjut pihaknya menambahkan, inisiatif film ini merupakan bagian dari program School-Based Mental Heath (SBMH) yang bertujuan membangun sistem kesehatan jiwa berbasis sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan jiwa siswa melalui asesmen kesehatan mental di lingkungan sekolah.Sekaligus, membuka akses layanan kesehatan mental dan kampanye publik dengan tagar #connecttocare.
Produksi Film ‘Makan Waktu’ 8 Bulan
Sementara itu, Febri Tugas Pratama selaku Project Lead Sekawan mengaku, proses produksi empat film tersebut menjadi tantangan baru dengan skala dan kompleksitas yang tinggi selama delapan bulan. Pihaknya melibatkan 30 kru untuk 28 set dalam waktu 16 hari.
“Setiap film membawa cerita, warna, pengalaman dan rasa yang berbeda,” tegasnya.
Lead Campaign SBMH, Ahmad Wasil Mustofa menyampaikan bahwa film menjadi medium pertemuan antara gagasan dan karya seni yang menjadi cerminan kondisi riil yang terjadi dari perspektif remaja secara otentik. “Karya kolaboratif ini mengjajarkan tentang tujuan dan kepedulian bersama,” ungkapnya.
Apresiasi dari Menparekraf
Satu hal yang juga membanggakan dari karya para sineas muda ini adalah apresiasi dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno yang disampaikan melalui rekaman video sambutan sebelum pemutaran film dimulai.
Sandi menilai, karya tersebut merupakan bentuk kolaborasi yang ciamik (bagus) sebagai untuk mengkampanyekan kesehatan mental melalui film.
Pihaknya berharap, kegiatan kali ini bisa membangun kesadaran pada semua pihak untuk lebih peduli dan memperhatikan tentang kesehatan mental di lingkungan masing-masing.
Koordinator Film, Musik, dan Animasi Kemenparekraf, Imam Muryanto yang menghadiri pemutaran film berpandangan bahwa kegiatan kali ini sangat menarik dan terbilang baru karena menggunakan film sebagai media untuk mengubah perilaku masyarakat yang lebih baik, terkait kesehatan mental.
“Bagi kami, saat ini film juga menjadi bagian dari promosi destinasi wisata,” sambungnya.
Oleh karena itu, Imam menyarankan agar karya-karya tersebut dapat dikolaborasikan dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi karena didalamnya sarat dengan edukasi tentang kesehatan mental remaja. Mengingat, sebagai permulaan, empat film tersebut sudah cukup bagus hasilnya.
“Jika nanti ini bisa lebih besar lagi, kami bisa mendorong agar masuk ke industri perfilman,” imbuhnya.
Misalnya, sebut Imam, melalui kolaborasi dengan para sineas yang profesional sehingga karya-karya tersebut bisa dikembangkan menjadi film yang lebih layak dinikmati di layar lebar. (Rep-01)