YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Aktivis Anti Korupsi dari Jogja Corruption Watch (JCW), Baharuddin Kamba pesimis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dikuatkan posisinya. Terlebih, dengan terpilihnya Firli Bahuri yang selama ini disebut-sebut sebagai salah seorang Calon Pimpinan (Capim) KPK yang bermasalah.
“Dia (Firli) pernah melakukan pelanggaran etik berat di KPK, tapi kok dipilih dan suaranya bulat, 56 suara. Ada apa seperti ini?,” kata Bahar kepada kabarkota.com, di kawasan Tugu Yogyakarta, Jumat (13/9/2019).
Bahar menduga, hal tersebut tak lepas dari keputusan politik di parlemen. Mengingat, 56 suara itu mewakili hampir semua fraksi yang ada di DPR. Ditambah, dengan adanya pakta integritas antara capim KPK dan DPR yang juga berpotensi memunculkan conflict of interest, jika nantinya ada wakil rakyat yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
“Kalau berharap pemberantasan korupsi juga sudah sangat susah,” sesalnya.
Bahkan, mundurnya salah satu pimpinan KPK, Saut Situmorang sehari sebelum nama Ketua baru KPK diumumkan, memurutnya, sebagai puncak kekecewaan atas kondisi di lembaga Negara tersebut, akhir-akhir ini.
Namun demikian, Bahar berharap, publik tetap melakukan pengawalan atas kinerja KPK ke depan. Pasalnya, ada upaya pembunuhan terhadap KPK secara perlahan, melalui pembatasan sejumlah kewenangan KPK. Salah satunya, dengan rencana Pemerintah dan DPR yang akan segera melakukan revisi UU KPK untuk kedua kalinya.
Bahar Lakukan Aksi Jalan Mundur
Pada kesempatan ini, Bahar juga melakukan aksi berjalan mundur dengan mata tertutup kain hitam. Aksinya itu dilakukan dari simpang empat tugu Pal Putih Yogyakarta ke utara halte bus Transjogja, sembari membawa bendera setengah tiang.
Aksi jalan mundur ini bukan pertama kalinya dilakukan oleh Bahar, ketika kondisi KPK berada di ujung tanduk seperti sekarang.
“Jalan mundur ini sebagai bentuk kekecewaan saya atas revisi RUU KPK. Padahal sebelumnya Presiden Jokowi pernah berjanji akan memperkuat lembaga antirasuah itu, tetapi nyatanya ingkar janji,” jelas Bahar.
Bentuk pengingkaran itu, lanjut Bahar, dengan terbitnya Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI perihal pembahasan revisi RUU KPK yang menurutnya merupakan langkah mundur pemberantasan korupsi di Indonesia.
Begitu juga saat Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK menyerahkan 10 nama ke Presiden. “Jokowi menyatakan tidak akan buru-buru mengeluarka Surpres kepada DPR RI tetapi Jokowi justru terkesan buru-buru mengirim itu ke DPR,” ungkapnya.
Aksi tunggal yang berlangsung sekitar 30 menit, dari pukul 09.00 WIB itu berlangsung tertib, meskipun tanpa pengamanan dari pihak kepolisian. (Rep-01)