Ilustrasi (dok. spn)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pemerintah Indonesia sedang menyusun dua Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Salah diantaranya, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Namun, penyusuan Omnibus Law ini menimbulkan banyak perdebatan di kalangan pakar hukum.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia indonesia (PBHI) Yogyakarta, Imam Joko Nugroho menjelaskan, sebenarnya merupakan tradisi di negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, seperti di Amerika Serikat, sehingga belum tentu bisa diterapkan di Indonesia yang menganut tradisi sistem hukum Civil Law.
Imam memaparkan, Omnibus Law memiliki pengertian sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang mengandung lebih dari satu muatan pengaturan. Omnibus Law juga memiliki tiga ciri utama. Pertama, terdiri dari banyak pasal, akibat banyak sektor yang dicakup dan bersifat multisektoral. Kedua, dapat menegasikan atau mencabut sebagian maupun keseluruhan peraturan lain. Ketiga, bersifat mandiri atau berdiri sendiri, tanpa terikat dengan peraturan lain.
“Inilah mengapa Omnibus law akan menjadi undang-undang yang super power,” tegas Imam kepada kabarkota.com, Minggu (29/12/2019).
Pada intinya, lanjut Imam, pengaturan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja nantinya akan diarahkan untuk memberikan kemudahan perizinan investasi di Indonesia. Dengan begitu, pemerintah berharap, investasi akan banyak masuk sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan. Termasuk membuka peluang bagi UMKM untuk memperkuat sektor usahanya, melalui kolaborasi dengan investor asing.
Isu utama dalam Omnibus Law ini, kata Imam, soal penataan kewenangan memangkas birokrasi perizinan yang menghambat investasi. Jadi, seluruh perizinan yang sudah terlanjur diberikan kepada Pemerintah Daerah (Pemda), kedepan akan ditarik kepada kewenangan Presiden. Meskipun, presiden tetap dapat mendelegasikan mandat tersebut kepada lembaga negara yang ditunjuknya.
“Sentralistik ekonomi dan politik ini mengingatkan kita pada jaman Orde Baru, di mana setiap kebijakan, pemerintah pusat yang memegang kendalinya,” sebut Imam.
Soal perizinan, imbuh Imam, nantinya tidak semua bentuk usaha membutuhkan izin. Tetapi izin hanya diperlukan bagi kelompok usaha yang memiliki resiko tinggi. Sedangkan usaha yang beresiko sedang dan rendah, maka proses pendaftaran hanya cukup dengan melakukan pemenuhan standar dan registrasi di Online Single Submission (OSS).
Sedangkan terkait kewajiban Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi investor, Imam menambahkan, dalam sistem OSS itu, pengusaha hanya akan diminta untuk menerapkan standar pengelolaan lingkungan dan pengumuman.
Skema tersebut juga akan diterapkan dalam pengaturan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kewajiban memiliki IMB akan digantikan dengan pemenuhan, Standar Layak Fungsi (SLF) untuk bangunan, dan kesesuaian zonasi dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Hanya saja persoalannya, sebut Imam, belum banyak Pemda yang RDTR, baik darat maupun perairan.
“Ke depan, penghapusan syarat berinvestasi seperti Ijin Lingkungan, maka penggusuran bisa terjadi secara massif. Pembangunan yang mengabaikan lingkungan dan masyarakat yang ada di atasnya tentu saja pasti melanggar HAM,” sesalnya
Catatan penting lainnya, PBHI Yogyakarta mensinyalir, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga akan menghapuskan sanksi pidana menjadi sanksi administratif, dengan dalih efektifitas hukum kepada pelaku usaha. Dengan kata lain, Omnibus Law ini lebih memberikan perlindungan dan fasilitas bagi investor dibandingkan perlindungan bagi buruh. Padahal dalam praktiknya, banyak investor nakal dan melanggar hukum.
Hal tersebut, anggap Imam, akan sangat merugikan buruh. Mengingat, dalam 11 klaster Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, isu ketenagarjaan hanya menjadi bagian obyek dari pola pemerintah yang lebih melindungi dan mengamankan investasi, dari pada berbicara hak-hak pekerja atau buruh.
Untuk itu, secara tegas PBHI Yogyakarta menolak adanya RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Disnakertrans DIY: Terlalu Dini Menyimpulkan
Sementara Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Arianto Wibowo menganggap, terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa Omnibus Law tak akan berpihak pada buruh.
Pasalnya, Bowo mengatakan, selain masih dalam tahap penggodogan draft RUU, pemerintah juga melibatkan banyak pihak, termasuk perwakilan dari Serikat Pekerja (SP).
“Harus dilihat dulu secara lebih mendalam,” ucapnya.
Penyederhanaan regulasi yang dilakukan pemerintah, menurut Bowo, akan disesuaikan dengan perkembangan situasi di jaman sekarang. Misalnya terkait dengan aturan pengupahan, dan jaminan perlindungan sosial bagi tenaga kerja, serta pesangon. (Rep-04)