Ilustrasi (dok. vemale)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Fokki Ardiyanto meminta agar Dinas Pendidikan (Disdik) melakukan investigasi terkait adanya dugaan kekerasan yang terjadi di salah satu Sekolah Dasar (SD) Negeri di wilayah Gayam.
Fokki mengaku, baru-baru ini, pihaknya memerima pengaduan dari salah satu orang tua siswa
yang pada intinya telah terjadi tindak kekerasan terhadap anak didik yang dilakukan oleh oknum guru kelas di SD tersebut
“Sebenarnya kekerasan itu sudah lama terjadi dan diketahui kepala sekolah, tetapi tidak dilakukan tindakan apapun karena takut ada kerabatnya (pelaku) yang menjadi pejabat di lingkungan penegak hukum,” kata Fokki dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, baru-baru ini.
Menurut politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Yogyakarta ini, kekerasan dengan alasan apapun tak bisa dibiarkan. Apalagi, anak yang mendapatkan perlakuan tersebut tak hanya satu orang saja, melainkan hampir semua siswa.
“Kami berharap, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta segera melakukan investigasi karena ini persoalan serius. Ketika anak didik dididik dengan kekerasan, maka akan mereproduksi kekerasan baru sehingga fenomena klitih meluas di kalangan pelajar,” anggapnya.
Selain itu, pihaknya juga mengimbau agar para orang tua berani mengungkap kasus tersebut demi menghentikan mata rantai kekerasan yang mengancam perkembangan anak.
“Para guru hendaknya menghentikan tindak kekerasan dalam mendidik anak… para kepala sekolah yang bertanggung jawab terhadap jalannya sistem pendidikan di sekolah, jangan takut ketika ada intervensi apapun untuk melindungi tindak kekerasan di lingkungan sekolah,” pinta Fokki.
Dhubungi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Edi Hari Suasana menyatakan, pihaknya tengah melakukan investigasi terkait adanya aduan tersebut.
“Kami sedang melakukan investigasi sebagaimana yang diharapkan dari wakil ketua Komisi D tersebut,” ucap Edi.
Terlepas dari kasus yang tengah ditangani Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta itu, Yuliani dari Persatuan Orang Tua Penduli Pendidikan (Sarang Lidi) berpendapat bahwa sekolah semestinya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak.
“Kekerasan akan berdampak pada kejiwaan anak. Mereka bisa mengalami trauma, malu dengan teman-temannya atau malah menjadi stres maupun pedendam,” ujar Yuli.
Karenanya, ia berharap, Dinas Pendidikan menjatuhkan sanksi tegas bagi oknum guru yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anak didiknya. Mengingat, itu terjadi secara berulang selama beberapa tahun.
Sementara pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Khamim Zarkasih Putro menjelaskan, ada beberapa tipe kekerasan yang dilakukan oleh guru di sekolah atau madrasah. Diantaranya, kekerasan tipe visibilitas yang sifatnya terbuka sehingga terlihat langsung oleh orang di sekitarnya, dan kekerasan tipe modalitas respons yang bisa berupa verbal dan fisik.
Selain itu juga kekerasan dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan, yaitu kekerasan fisik atau psikis, kekerasan dilihat dari aspek unit sosial yang pelakunya individu guru, serta kekerasan dilihat dari aspek kesegeraan atau kekerasan yang dilakukan langsung oleh guru tanpa perantara, baik orang maupun struktur.
Faktor pemicunya, lanjut Khamim, bisa faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terkait dengan kompetensi guru dalam mengelola kelas rendah, memiliki masalah dalam keluarga, kesehatan fisik, disposisi agresif, dan keadaan rentan emosi yang dimiliki guru. Sedangkan faktor eksternal umumnya karena pelanggaran tata tertib oleh siswa, sikap siswa yang dianggap meremehkan guru, siswa yang gaduh saat kegiatan pembelajaran, dan kenakalan siswa.
“Sinergitas kedua faktor tersebut secara simultan memicu kemauan guru untuk melakukan kekerasan terhadap siswa,” sebut Khamim.
Dampak negatif dari tindakan kekerasan tersebut, imbuhnya, dapat berupa fisik dan psikis, seperti luka, malu, maupun ketakutan siswa. Bahkan, korban bisa juga menjadi pembenci, dan enggan untuk belajar.
Menurut Khamim, sebenarnya kontribusi sekolah diberikan dalam rangka pengembangan Ilmu Pengetahuan, yakni bahwa hukuman dalam batas-batas normatif edukatif diperlukan untuk menyadarkan dan memperbaiki siswa yang melakukan kesalahan. Hanya saja, dalam praktiknya masih ada guru yang mengalami kesulitan dalam menerapkan hukuman yang sesuai dengan prinsip pendidikan. Akibatnya hukuman yang diberikan guru kepada siswa justru di luar batas kewajaran sehingga mengarah pada kekerasan yang merugikan siswa.
Oleh karena itu Khamim menyarankan agar sekolah merumuskan kriteria dan jenis hukuman yang jelas dan rinci sebagai pedoman bagi para guru, mengaktifkan kode etik guru dalam melaksanakan profesinya, mengefektifkan pengawasan internal terhadap kinerja guru, serta mengembangkan tradisi dan budaya ramah anak di sekolah.
Sedangkan terkait hukuman bagi pelaku kekerasan, perlu dilihat terlebih dahulu latar belakangnya. “Kalau kebiasaan itu dilakukan dengan penuh kesadaran bisa diberi sanksi, semisal dipindahkan tempat tugasnya,” ujarnya. (Ed-03)
SUTRIYATI