Dibutuhkan ruang negosiasi antara pemerintah dan parlemen untuk mengakhiri kisruh politik di Indonesia saat ini. (ilustrasi)
SLEMAN (kabarkota.com) – Ketidakseimbangan posisi pemerintah yang sebentar lagi akan dilantik dengan parlemen diprediksi akan menjadi hambatan untuk mengambil kebijakan. Pasalnya, partai politik pengusung Jokowi-JK memiliki kursi lebih sedikit di parlemen dan bahkan tidak memiliki posisi yang strategis.
"Ini bisa berimplikasi pada inefisiensi kebijakan yang akan diambil pemerintah," ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Bambang Purwoko kepada kabarkota.com.
Partai pendukung Jokowi hanya memperoleh 207 dari 560 kursi di parlemen. Sementara itu koalisi pendukung Prabowo mendulang sebanyak 353 kursi.
Meski begitu, Bambang menjelaskan, peluang menemukan titik temu permasalahan tersebut tetap ada. Menurutnya, politik adalah negosiasi dan apapun bisa dilakukan.
Syaratnya, kata Bambang, presiden terpilih harus lebih otonom dan independen dalam mengambil kebijakan, tidak tergantung figur maupun sentimen masa lalu.
Sementara itu, Bambang melanjutkan, parlemen yang didominasi partai bukan pendukung Jokowi harus membuka diri. Mereka tidak boleh serta merta tidak menyetujui usulan kebijakan yang diajukan pemerintah.
"Jika menyangkut kepentingan mayoritas (publik), sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak mendukung," ungkap Kepala Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama, UGM ini.
Ia menambahkan, sudah bukan waktunya lagi memperbincangkan konflik dalam ajang pemilihan umum lalu. Pemerintah dan parlemen yang terbuka dan membuka ruang negosiasi.
Selain itu, anggota dewan yang saat ini menjadi sorotan publik harus memperbaiki perilaku dan segera memikirkan apa yang harusnya lakukan untuk masyarakat. "240 juta masyarakat Indonesia sudah menunggu kinerja pemerintah dan DPR," ujarnya.
AHMAD MUSTAQIM