Literasi Media tentang Cerdas Bermedia Sosial untuk Mewujudkan SDM Unggul dan Indonesia Maju di Wilayah Hukum Polda DIY, di Sleman, Kamis (19/9/2019). (Dok. Kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Membanjirnya informasi di media sosial menjadi pisau bermata dua. Staf Khusus Presiden Bidang Informasi, Adita Irawati berpendapat bahwa di satu sisi, media bisa menjadi wadah sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
“Media sosial itu juga bisa menjadi pengawas pemerintah. Mau memberikan kritik? Silakan, tapi… harus menjadi pengkritik yang cerdas,” kata Adita dalam Literasi Media tentang Cerdas Bermedia Sosial, di Sleman, Kamis (19/9/2019).
Di sisi lain, media sosial seringkali juga dijadikan wadah provokasi yang berpotensi menimbulkan perpecahan, sehingga mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Salah satunya melalui penyebaran hoaks. Mengingat, sebagian besar masyarakat masih menelan mentah-mentah informasi yang belum tentu kebenaranya itu.
“Disinilah pentingnya netijen-netijen yang cerdas,” tegas Adita.
Pihaknya juga mengimbau kepada masyarakat agar berhati-hati dalam mengakses informasi di internet. Pasalnya, kecanggihan teknologi mampu mendeteksi kecenderungan pengguna internet dalam mengakses informasi tertentu, sehingga itu dimanfaatkan untuk membanjiri berita hanya yang mereka sukai.
“Di era revolusi industri 4.0, di media sosial yang namanya algoritma adalah raja,” tegasnya.
Adita mencontohkan polarisasi (perpecahan) di masyarakat saat Pilpres 2019 lalu, itu karena masing-masing pihak “terkurung” hanya pada yang pro dan kontra saja. Hal itu membuat mereka menjadi narrow minded karena tidak memiliki second opinion.
Kepala Bagian (Kabag) Diseminasi Informasi Digital Polri, Heru Yulianto menganggap, mudahnya hoaks berkembang di Indonesia karena adanya kecenderungan masyarakat kurang bertanggung-jawab dalam bermedia sosial, dan ingin menjadi orang pertama yang menyebarkan berita.
Berdasarkan hadil survei Mastel tentang Wabah Hoaks Nasional, sebanyal 48% berita didapat dari orang yang dipercaya, 31% mengira bermanfaat, 18% mengira benar, dan 3% ingin menjadi yang pertama. Sementara terkait perilaku masyarakat menerima hoaks, 48% langsung membagikan melalui copy paste, dan hanya 1% yang melakukan pengecekan atas kebenaran informasi tersebut.
“Literasi yang rendah juga membuat masyarakat lebih mudah membagikan daripada menulis, dan sikap kurang peduli pada kredibilitas berita,” sesalnya.
Padahal, lanjut Heru, perilaku di media sosial dapat terjerat hukum. DalamUndang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), penyebaran berita palsu/hoaks, dan ujaran kebencian (pasal 28) bisa dikenai pidana maksimal 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 Milyar (pasal 45a).
Sementara Jaka Nophansyah selaku CEO Creative Muda United menambahkan, sebenarnya media sosial bisa menjadi aset bagi pemiliknya, selama mampu memberikan konten positif dan bermanfaat secara konsisten.
‘Konten yang fokus itu bisa menghasilkan uang,” ungkapnya. (Rep-01)