Mantan imam Besar Masjid Istiqlal dan Cita-cita yang tak Kesampaian hingga Tutup Usia

Ilustrasi: mantan imam besar Masjid Istiqlal, Ali Musthafa Ya’qub (tengah) bersama Presiden AS, Barrack Obama (kanan) dan Ibu Negara (kiri). (islamtimes.org)

JAKARTA (kabarkota.com) – Bangsa Indonesia tengah berduka atas meninggalnya mantan imam besar Masjid Istiqlal, Ali Musthafa Ya’qub, pada Kamis (28/4/2016).

Di balik sosoknya yang tersohor, ternyata, pria yang semasa hidupnya pernah menjadi Masjid Istiqlal ke-4, sejak Desember 2005 itu ternyata memiliki cita-cita yang tak kesampaian hingga akhir hayatnya.

Musthafa yang lahir di Batang pada 2 Maret 1952 ini, ketika kecil memiliki cita-cita untuk belajar di sekolah umum. Namun, setelah tamat SMP, orang tuanya mengirim dia belajar di Pesantren Seblak Jombang sampai tingkat Tsanawiyah 1969.

Kemudian, Musthafa nyantri lagi di Pesantren Tebuireng Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari Pondok Seblak. Di samping belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy’ari, di Pesantren ini ia menekuni kitab-kitab kuning di bawah asuhan para kiai sepuh, antara lain al-Marhum KH. Idris Kamali, al-Marhum KH. Adlan Ali, al-Marhum KH. Shobari dan al-Musnid KH. Syansuri Badawi. Di Pesantren ini ia mengajar Bahasa Arab, sampai awal 1976.

Tahun 1976, seperti dilansir laman wikipedia, ia menuntut ilmu lagi di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, sampai tamat dengan mendapatkan ijazah license, 1980. Kemudian melanjutkan lagi di Universitas King Saud, Jurusan Tafsir dan Hadis, sampai tamat dengan memperoleh ijazah Master, 1985.

Kembalinya di tanah air, Musthafa sempat mengajar di Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Institut Studi Ilmu al-Quran (ISIQ/PTIQ), Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah, dan IAIN Syarif Hidayatullah.

Kemudian, pada Tahun 1989, bersama keluarganya ia mendirikan Pesantren “Darus-Salam” di desa kelahirannya.

Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh yang aktif menulis ini, juga sempat menjabat sebagai Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Muaballighin, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua STIDA al-Hamidiyah Jakarta, dan sejak Ramadhan 1415 H/Februari 1995 ia diamanati untuk menjadi Pengasuh/Pelaksana Harian Pesantren al-Hamidiyah Depok, setelah pendirinya KH. Achmad Sjaichu wafat 4 Januari 1995. Terakhir ia didaulat oleh kawan-kawannya untuk menjadi Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi). (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait