Seminar “Vigilantes Countering Extrimism? Securing The Local project”, di kantor PSKP UGM, Senin (24/9/2018). (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Konflik kekerasan atas nama ekstrimisme agama menjadi permasalahan global, termasuk juga di Indonesia. Salah satunya, kasus yang pernah terjadi di Poso, Sulawesi Tengah.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Muhammad Najib Azca menyebut, serangkaian kerusuhan yang terjadi di Poso merupakan konflik komunal keagamaan terburuk di Indonesia, saat awal reformasi. Konflik komunal antarkelompok tersebut kemudian berubah menjadi terorisme, karena datangnya kelompok-kelompok laskar jihadis, yang satu diantaranya adalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso
“Tahun 2000-an, Poso menjadi salah satu basis markas kelompok-kelompok militan jihadis,” ungkap Najib, dalam Seminar “Vigilantes Countering Extrimism? Securing The Local project”, di kantor PSKP UGM, Senin (24/9/2018).
Namun sejak operasi Tinombala dilancarkan oleh gabungan dari TNI/Polri pada tahun 2016 di Poso dan mengakibatkan pimpinan MIT, Santoso meninggal dunia, kelompok-kelompok tersebut hanya tersisa beberapa saja.
Kemudian pasca perdamaian, lanjut Najib, para mantan kombatan jihadis yang telah keluar dari penjara, kini sebagian menempuh jalur-jalur yang bervariasi. Najib mencontohkan, ustad Hasan yang kini menjadi pimpinan yayasan yang mengelola sebuah pesantren di Poso, yang konsens pada masalah pendidikan dan aktif terlibat dengan aktor-aktor di Poso, seperti dari Al Khairat, Muhammadiyah, NU, BNPT, dan bahkan kelompok-kelompok Kristen.
“Pasca konflik ini, jihadnya adalah jihad pendidikan,” ucapnya.
Begitu juga dengan Ipong, salah satu mantan kombatan jihadis yang setelah keluar dari penjara, kini berprofesi sebagai kontraktor. Sementara beberapa lainnya beralih jalur menjadi politisi, dan aktivis perdamaian.
Sementara itu, Laurens Bakker dari University of Amsterdam memaparkan tentang beberapa security group, seperti Brigade Manguni di Minahasa, Sulawesi Tengah, CJTF di Nigeria, dan Fulani di Kenya.
Dari paparannya itu, Laurens menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok tersebut memiliki hubungan dengan kekuasaan, dan kepentingan-kepentingan politik praktis. Mereka, khususnya Brigade Manguni juga bergerak cepat melampaui ketentuan pemerintah. Misalnya, ketika terjadi bencana alam, kelompok tersebut paling cepat bergerak memberikan bantuan kepada masyarakat.
“Meskipun mungkin bantuannya tak sebanyak dari pemerintah, tapi karena mereka yang pertama, jadi paling berkesan bagi masyarakat,” anggapnya. (Rep-03)