Dialog Kebangsaan: Meneladani Visi Keindonesiaan Sepasang Republikan: Sri Sultan HB IX dan PA VIII, di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Rabu (5/9/2018)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Tanggal 5 September bagi Yogyakarta selalu menjadi hari yang istimewa. Apa sebab, di tanggal ini, 73 tahun lalu, Kesultanan Yogyakarta di bawah kuasa Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Kadipaten Pakualaman yang ketika itu dipimpin Sri Paduka Paku Alam (PA) VIII sepakat menyampaikan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keberpihakan keduanya kepada NKRI sejak awal kemerdekaan, salah satunya dibuktikan dengan pemindahan ibukota dari Batavia (sekarang Jakarta) ke Yogyakarta untuk sementara waktu, karena alasan keamanan, sejak Belanda kembali pasca Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, 17 Agustus 1945.
Filolog dari Univesitas Sebelas Maret, Rendra Agusta berpendapat, status Keistimewaan yang melekat pada Yogyakarta sampai dengan saat ini, tak bisa dilepaskan dari sejarah tersebut.
Sebagaimana diketahui, status keistimewaan Yogyakarta telah ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan diperkuat dengan disahkannya UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang menurutnya, itu didasarkan pada Amanat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945.
Pada era kemerdekaan, imbuh Rendra, PA VIII mengeluarkan Amanat 5 September 1945 tentang Sikap Bergabung dengan NKRI dan disusul Amanat tertanggal 30 Oktober 1945 tentang Pembuatan satu Undang-undang Daerah Istimewa. Selain itu, pihaknya juga mengeluarkan Maklumat No. 18 Tahun 1946 tentang Pembentukan satu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Hal itu adalah visi Dwi Tunggal yang patut diteladani, karena mengorbankan kepentingan golongan untuk kepentingan rakyat,” ucap Rendra dalam Dialog Kebangsaan: Meneladani Visi Keindonesiaan Sepasang Republikan: Sri Sultan HB IX dan PA VIII, di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Rabu (5/9/2018).
Catatan Persoalan Implementasi dari si Penyusun RUUK DIY
Rektor UNU Yogyakarta, Purwo Santoso yang juga pernah dilibatkan dalam penyusunan draft UUK DIY mengungkapkan, dari lima poin keistimewaan yang tetapkan, kebudayaan menjadi unsur besar yang jika tak ditelaah dengan seksama, maka keistimewaan itu justru menjadi tak berkualitas. Mengingat, proteksi keistimewaan Yogyakarta melalui UUK DIY itu pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kearifan lokal di Yogyakarta.
“Kearifan itu biasanya hanya dilakoni, bukan diceritakan,” anggap pengamat Otonomi Daerah (Otda) ini. Kearifan lokal itu, imbuhnya, adalah kecerdasan kolektif dan spiritual yang tak tersedia dalam text book sehingga tak bisa dijelaskan secara ilmiah.
Catatan persoalan lain terkait penerapan keistimewaan di Yogyakarta, sebut Purwo, penyusunan UUK yang merujuk pada sejarah itu memang penting. Namun lebih penting lagi adalah dengan menjadikan pelajaran sejarah itu sebagai pacuan untuk meniti masa depan DIY.
Selanjutnya, lanjut Purwo, meskipun UUK DIY merujuk pada perjanjian di DIY, namun kemanfaatannya tak hanya untuk warga Yogyakarta saja, melainkan juga masyarakat Indonesia pada umumnya.
“Suara” dari Kerabat Keraton Yogyakarta
Sementara Pengageng Tepas Dwarapura Ketaton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat atau akrab disapa Romo Tirun ini menambahkan bahwa ada fisolosofi dan pesan moral kepemimpinan atas gelar tahta “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwpbo Senopati ing Ngalogo Ngadurrahman Sayyidin Panotogomo Khalifatullah ing Ngayogyakarta Hadiningrat.”
“Dari gelar Sultan HB IX itu sebagai pemimpin umat di negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang dikenal sebagai DIY, yang masyarakatnya disebut mendambakan sikap toleran. (sutriyati)