Memandang Fenomena Kejahatan Jalanan di Yogya dari “Kacamata” Sosiolog

Ilustrasi (dok. pixabay)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Fenomena kejahatan jalanan di Yogyakarta, akhir-akhir ini, cukup meresahkan sekaligus memprihatinkan bagi banyak pihak. Salah satunya datang dari kalangan sosiolog.

Bacaan Lainnya

Anggota Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Kota Yogyakarta, Ariefa Efianingrum mengaku prihatin dengan maraknya aksi kejahatan tersebut karena telah mengganggu kenyamanan warga masyarakat, khususnya pengguna jalan. Terlebih kasusnya terus berulang dengan pelaku-pelaku yang baru.

Pengajar pada Program Studi Kebijakan Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang pernah menulis disertasi tentang “Reproduksi Kekerasan Pelajar SMA di Kota Yogyakarta” (2018) ini menemukan bahwa realitas kekerasan di kalangan pelajar, baik dalam bentuk kekerasan fisik, seksual, maupun verbal masih ada.

“Kekerasan pelajar itu bisa terjadi secara individual dan kolektif. Kekerasan yang sifatnya kolektif berkaitan dengan keanggotaan dalam geng, dengan aksi-aksi nongkrong, vandalism hingga tawuran,” jelas Ariefa kepada kabarkota.com, Kamis (7/4/2022).

Menurutnya, para pelaku kekerasan tersebut umumnya memiliki modal sosial, ekonomi, kultural, dan simbolis. Ia mencontohkan, modal sosial berupa jaringan pertemanan yang luas, baik di sekolah dengan geng pelajar, maupun luar sekolah sehingga merasa memiliki support system. Modal ekonomi berupa kepemilikan sepeda motor dengan merk dan jenis tertentu yang bisa digunakan untuk melakukan aksi-aksi, seperti vandalism dan tawuran. Sedangkan modal kultural, diantaranya berupa nilai dan sikap keberanian yang dipraktikkan secara tidak tepat. Misalnya menyerang, melawan, dan melukai pihak lain dengan senjata. Sementara modal simbolis ditunjukkan dengan memperlihatkan penampilan berbeda yang menegaskan diri mereka sebagai cah luweh, can vandal, dan sebagainya.

Lebih lanjut Ariefa menyebutkan bahwa kekerasan jalanan dipengaruhi oleh banyak faktor. Pertama, faktor individual karena rendahnya rasa empati, ketidakpuasan dalam hidup serta gagal dalam menginternalisasi nilai-nilai budaya dan karakternya sehingga pelaku sering melanggar norma-norma sosial. Kedua, faktor keluarga, seperti proses sosialisasi yang tidak sempuna, hambatan komunikasi antara orang tua dan anak, kurangnya perhatian, kasih sayang, serta dukungan dari orang tua, serta lemahnya pantauan mereka terhadap anak.

Ketiga, lanjut Ariefa, faktor sekolah. Misalnya karena kultur di sekolah yang kurang kondusif, kurang mengakomodasi potensi dan ekpresi siswa, adanya geng pelajar atau geng sekolah, dan permusuhan antar geng. Keempat, faktor sosial yang terkait dengan lemahnya kontrol sosial masyarakat, terpengaruh lingkungan yang toxic sehingga para remaja mengenal miras dan narkoba. Kelima, faktor media yang memuat tentang konten-konten kekerasan, baik di media mainstream maupun media online. Itu justru menjadi referensi sekaligus ruang untuk mengekspose kekerasan.

“Gejala penyimpangan atau patologis sosial termasuk kekerasan jalanan di kalangan remaja umumnya disebabkan oleh pengabaian sosial di berbagai lingkungan tersebut,” tegasnya.

Untuk itu diperlukan resolusi konflik yang tepat dan efektif untuk memutus mata rantai kejahatan tersebut.

“Karena kasus kekerasan jalanan berakar pada faktor sosia,l maka penanganan kekerasan tidak cukup dengan hanya menggunakan pendekatan personal, melainkan perlu pendekatan komprehensif,” ucapnya.

Jika permasalahan berawal dari keluarga, kata Ariefa, maka orang tua perlu belajar mengenai parenting yang sesuai. Selain itu, dukungan lembaga pengasuhan berbasi komunitas juga diperlukan. Namun jika permasalahan bermula dari permusuhan antar geng, maka perlu resolusi untuk mencairkan relasi konfliktual tersebut. Sekolah perlu mengidentifikasi siswa yang berpotensi melakukan penyimpangan dan terlibat dalam geng, serta menguatkan nilai-nilai karakter bagi siswa.

“Aksi kekerasan jalanan seringkali juga berkaitan dengan penyalahgunaan minuman keras dan narkoba. Oleh karena itu peredaran dan kemudahan aksesnya bagi remaja perlu dibatasi,” pintanya.

Termasuk, kata dia, patroli keamanan pada jam-jam kritis. Mengingat, kekerasan jalanan seringkali terjadi pada malam hingga dini hari di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan pengawasan komunitas. Lebih dari itu, kepedulian sosial warga masyarakat dan penegakan hukum yang tegas agar menimbulkan efek jera bagi pelaku juga perlu digakkan.

“Penanganan kekerasan jalanan memerlukan partisipasi segenap institusi sosial secara sinergis untuk mencegah terulangnya kembali kekerasan jalanan yang menggelisahkan,” anggap Ariefa.

Hal senada juga disampaikan Sosiolog UGM, Suprapto yang menekankan agar para orang tua mengontrol aktivitas anak-anaknya. Misalnya, dengan melarang anak-anak keluar larut pagi, dengan alasan apapun. Jika memang mendesak, maka perlu pendampingan orang tua. Selain itu, pihak berwenang juga harus menelusuri sampai akar masalahnya, tidak sebatas pada pelaku dan diberi sanksi hukum tegas.

“Sudah ada dasar hukumnya, jika menyebabkan cidera seimur hidup dan bahkan kematian, maka yang berlaku KUHP bukan lagi diversi,” paparnya.

Sultan: Satu-satunya cara harus Diproses Hukum

Sebelumnya, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X telah meminta agar para pelaku pelanggaran pidana seperti kekerasan jalanan itu perlu diproses secara hukum, karena tindakannya sudah melampaui batas.

“Satu-satunya cara harus diproses secara hukum karena dengan cara seperti itu, harapannya kita bisa mengatasi persoalan,” ucap Sultan, pada 4 April 2022.

Pernyataan Sultan tersebut disampaikan menyusul adanya kasus penganiayaan sekelompok orang di Jalan Gedongkuning Yogyakarta yang mengakibatkan salah satu korbannya, Daffa Adziin Albasith meninggal dunia, pada 3 April 2022.

Secara terpisah, Dir Reskrimum Polda DIY, Kombes. Pol. Ade Ary Syam Indradi memaparkan kronologi peristiwa yang mengakibatkan seorang pelajar di Yogyakarta tersebut meninggal dunia. Berdasarkan hasil pemeriksaan 11 saksi, dan olah TKP, serta pra rekonstruksi, peristiwa bermula ketika pada 3 April 2022, sekitar pukul 01.00 WIB, lima motor korban dikendarai oleh delapan orang di jalan ringroad selatan. Mereka melaju dengan kecepatan tinggi, dan suaranya bising. Di jalur lambat, kelompok tersebut bertemu dengan lima orang yang diduga pelaku, mengendarai sepeda motor.

“Karena merasa terganggu oleh suara bising motor kelompok korban, maka para pelaku membleyer untuk membalas karena merasa tersinggung,” ungkap Ade, di Poltabes Yogyakarta, 5 April 2022.

Ade menambahkan, sempat terjadi aksi pengejaran antara dua kelompok tersebut. Namun sesampainya di Jalan Imogiri, rombongan yang diduga pelaku tidak lagi terlihat, sehingga delapan orang dari kelompok korban berhenti di salah satu warung makan Jalan Gedong Kuning, Kotagede Yogyakarta. Namun beberapa saat kemudian, dua motor pelaku kembali menghampiri mereka, dengan membleyer motornya seraya mengumpat hingga memicu aksi kejar-kejaran lagi ke arah utara.

“Empat motor kelompok korban mengejar, tapi ternyata dua motor pelaku berbalik arah ke selatan seperti menunggu kedatangan korban. Salah satu dari lima terduga pelaku turun dari motor dengan membawa alat seperti gir yang diikat dengan kain. Karena motor pertama melaju dengan kecepatan tinggi, maka tidak terkena ayunan gir pelaku. Gir mengenai pembonceng motor kedua (Daffa) sehingga korban terjatuh,” sambungnya.

Kemudian, lanjut Ade, sekitar pukul 02.10 WIB, tim patroli dari Sabhara Polda DIY menemukan korban dalam keadaan luka parah dan dilarikan ke Rumah Sakit. Namun, sekitar pukul 09.30 WIB, nyawa korban berusia 18 tahun tersebut tidak terselamatkan.

“Kami juga mendalami dan menelusuri rekaman jejak melalui 9 CCTV yang sudah didapatkan, dan sekarang sedang dalam proses analisis untuk mengetahui peristiwa tersebut,” tegasnya.

Sementara berdasarkan catatan Jogja Police Watch (JPW), dalam kurun waktu Januari – April 2022, setidaknya telah ada 12 kasus dugaan kekerasan jalanan di DIY. Termasuk, kasus yang terjadi di Jalan Gedongkuning tersebut.

“Daftar 12 kasus tersebut belum termasuk korban yang meninggal dunia sejak tahun 2016 hingga 2021,” kata Aktivis JPW, Baharuddin Kamba dalam siaran pers, 6 April 2022. (Rep-01)

Pos terkait