Ilustrasi: Aksi doa bersama yang dilakukan oleh Suporter Persebaya Surabaya untuk para korban tragedi di Stadion Kanjuruhan. (dok. twitter @persebayaupdate)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Peristiwa kematian ratusan suporter sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur (Jatim) pada 1 Oktober 2022 lalu sangat mengagetkan. Tidak hanya publik di tanah air, bahkan media-media internasional turut menyoroti tragedi kemanusiaan yang terjadi dalam dunia persepakbolaan di Indonesia.
Sejarah yang begitu kelam, memosisikan peristiwa tragis di Stadion Kanjuruhan itu disebut-sebut sebagai kerusuhan terbesar kedua dalam sejarah persepakbolaan dunia.
Dalam setiap kerusuhan yang terjadi dalam laga sepak bola, hampir selalu suporter yang menjadi sorotan utama, termasuk sebagai pemicu konflik di lapangan. Pun dalam peristiwa di Stadion Kanjuruhan.
Meskipun, aparat keamanan juga tidak lepas dari sorotan utama, karena upaya penanganan konflik melalui aksi yang kurang persuasif. Termasuk penggunaan gas air mata yang dinilai melanggar aturan FIFA Stadium Safety and Security’, khususnya pasal 19 nomer B tentang Pitchside stewards. Pasal tersebut berbunyi “No fi rearms or “crowd control gas” shall be carried or used” (Tidak boleh membawa atau menggunakan senjata api atau ‘gas pengendali massa’).
Begitu pun dengan federasi, operator, dan klub yang masing-masing punya andil sehingga kerusuhan di Stadion Kanjuruhan berujung pada hilangnya ratusan nyawa.
Dalam siaran persnya, Kapolda Jatim, Nico Afinta menjelaskan bahwa kerusuhan terjadi usai pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya, berakhir dengan kekalahan Arema FC di kandang sendiri.
Nico mengungkapkan, sejumlah pendukung Arema FC yang merasa kecewa turun ke lapangan mencari para pemain dan official. Kemudian petugas pengamanan melakukan melakukan upaya pencegahan, dengan pengalihan agar para suporter tidak turun ke lapangan dan mengejar pemain. Sementara sejumlah petugas lainnya melakukan tembakan gas air mata karena para suporter yang turun ke lapangan telah melakukan tindakan anarkis yang membahayakan keselamatan. Akibatnya, terjadi penumpukan penonton di satu pintu keluar hingga banyak dari mereka yang sesak nafas dan kekurangan oksigen.
Bagaimana Solusi Penanganan Suporter Sepak Bola di Tanah Air?
Peristiwa kerusuhan yang dipicu oleh kekecewaan maupun fanatisme suporter sepak bola tidak hanya sekali saja terjadi di tanah air. Menansir dari catatan Kompas (3/10/2022), kerusuhan sepak bola pernah terjadi di tahun 1967 di Deli Serdang, Sumatera utara yang mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, dan empat korban mengalami luka-luka. Pada 1977, kerusuhan juga terjadi di Stadion Utama Gelora Bung Karno (Stadion Utama Senayan).
Peristiwa kematian suporter di Stadion Kanjuruhan, masih dari catatan Kompas, sebelumnya juga pernah terjadi pada 13 Juli 2005, ketika itu, salah satu pendukung Arema Malang meninggal dunia karena terinjak-injak saat menyaksikan pertandingan Arema vs Persija Jakarta, dengan penonton yang membludag.
Padahal, dalam pandangan pengamat sepak bola yang juga Dosen Fisipol UGM, Hempri Suyatna, fanatisme suporter sepak bola sebenarnya bisa menjadi dasar dalam pengembangan klub supaya lebih kuat.
“Ini bisa menjadi pondasi dalam membangun industri sepak bola,” jelas Hempri saat dihubungi kabarkota.com, Selasa (4/10/2022).
Diantaranya, dengan membangun suporter yang kreatif tidak hanya di stadion, tapi juga secara ekonomi. Contohnya, sekarang ada kelompok suporter yang memiliki store atau outlet penjualan merchandise. Bahkan, menurutnya, ini bisa menjadi pola pengengembangan suporter ke depan. Misalnya dengan pengembangan paket tur wisata ke stadion, atau kunjungan ke sekretariat suporter yang dikemas dalam sport tourism.
“Saya kira, ini harus menjadi paradigma dalam pengembangan olah raga sepak bola,” sambungnya.
Selain itu juga dengan mendorong perbaikan infrastrukttur stadion yang ramah anak, perempuan, edukasi dan optimalisasi potensi supporter yang kreatif, profesionalitas LIB dan PSSI, serta pemahaman yang baik terkait aturan pertandingan dari panpel dan aparat keamanan.
Komunikasi antara Klub – Suporter menjadi Kunci
Sementara Chief Executive Officer (CEO) PSIM Yogyakarta, Bima Sinung Widagdo mengaku bahwa hingga saat ini, pihaknya belum menemukan formula yang tepat untuk penanganan suporter. Hanya saja, hal yang coba ia lakukan adalah dengan membuka jalur komunikasi yang baik antara klub dan suporter sehingga persoalan-persoalan yang muncul bisa terselesaikan dengan baik. Termasuk menghindari prasangka-prasangka yang bisa memicu konflik.
“Kami dari manajemen menyadari, belum sempurna dalam menjalin komunikasi dengan suporter tapi terus kami perbaiki,” ucapnya Bima.
Di lain pihak, Bima juga menilai, adanya upaya-upaya positif dari suporter untuk membuat rivalitas lebih sehat, atraktif dan tidak destruktif.
“Sejauh ini saya lihat positif, karena ada upaya-upaya konsolidasi terhadap rivalitas antarsuporter. Misalnya, antara suporter Malang – Surabaya, Bandung- Jakarta, Yogya – Sleman, dan Yogya – Solo,” sebut Bima.
Suporter Punya Cara Sendiri untuk Protes
Lain hanya dengan Koordinator Brigata Curva Sud (BCS), Zulfikar yang menyampaikan bahwa suporter PSS Sleman dari BCS mempunyai cara tersendiri untuk menyampaikan protes maupun kekecewaan terhadap klub kesayangan mereka.
Pihaknya mengungkapkan, selama bulan September kemarin, BCS tidak mendukung PSS sebagai bentuk protes karena beberapa kali PSS Sleman kalah lain, termasuk di kandang sendiri, dan ada kejadian anggotanya meninggal dunia.
Pada 2 Agustus 2022 lalu, salah satu suporter PSS Sleman yang tergabung dalam (BCS) meninggal dunia. Ia adalah korban penganiayaan oleh sejumlah orang, ketika keributan antara suporter dan warga pecah, pada 25 Juli (antara, 3/8/2022).
“Ini merupakan refleksi kami. Apa yang salah? Mengapa banyak kejadian yang menyebabkan orang meninggal?” sesalnya.
BCS, sambung Zulfikar, menanamkan hal-hal positif yang mereka sepakati dalam forum saat pembentukan komunitas suporter tersebut. Diantaranya, para suporter dilarang turun ke lapangan, melempar botol minuman di lapangan, dan harus memakai sepatu, serta harus berdiri. itu rules yang sudah kami sepakati ketika BCS terbentuk. sekarang kami tinggal mengedukasi.
“Meskipun kalah dan kalah di kandang, kami juga punya cara protes sendiri. Kami tidak sampai turun ke lapangan,” klaim Zulfikar. (Rep-01)