pekerja di Monumen Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur, Rahmat saat membersihkan diorama Meyjen S Parman yang disiksa dalam tragedi G30SPKI. (Antara)
Persiapan pesta desa begitu meriah. Umbul-umbul dipasang oleh penduduk mengelilingi lapangan. Beberapa ternak dan unggas dipotong. Para ibu sibuk di dapur memasak makanan terbaik. Malam itu, warga desa keseluruhan, laki-laki-perempuan, tua-muda, besar kecil akan menyampaikan penghormatan kepada Batalyon Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Pasukan Belanda sudah pergi dan Indonesia benar-benar mendapatkan kemerdekaannya pasca Agresi Militer II Belanda di akhir 1950-an itu.
Malam pun datang. Lapangan desa penuh dengan manusia. Berturut-turut, kepala desa dan para tetua berganti menyampaikan sambutan. Mereka mengelu-elukan para tentara pelajar yang sudah mempertaruhkan jiwa dan raga, mempertahankan kemerdekaan. Kenyataannya, banyak tentara pelajar tewas dalam pertempuran melawan tentara Belanda.
Tetapi, ketika sampai pada sambutan puncak yang disampaikan Komandan TRIP Jawa Timur, Mas Isman yang dihormati, suasana heroik yang tercipta mencapai anti klimaks. Di hadapan massa warga desa, Mas Isman meminta agar warga desa, para orang tua, para sesepuh desa tidak mengelu-elukan para pemuda tentara pelajar sebagai pahlawan.
“Kami bukan pahlawan. Di usia kami yang masih sangat muda ini, tangan kami sudah penuh dengan darah. Kami sudah menjadi pembunuh sesama manusia. Jangan elu-elukan kami sebagai pahlawan. Tetapi, bantulah kami kembali ke masyarakat, agar bisa kembali menjadi manusia normal,” ujar Mas Isman sebagaimana diceritakan mendiang Yusuf Bilyarta (YB) Mangunwijaya kepada saya, saat wawancara panjang untuk Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo pada akhir Maret 1994. Wawancara panjang untuk rubrik memoar di Tempo itu tak sempat naik cetak. Lantaran majalah tempat saya bekerja waktu itu ditutup oleh rezim Orde Baru pada 21 Juni 1994.
Ilustrasi di atas, saya sampaikan untuk menunjukkan kebesaran Mas Isman sebagai pemimpin perang. Begitu perang usai, ia ingin segala sesuatu kembali normal. Para pelajar yang tugasnya belajar harus kembali ke sekolah. Lantaran negara belum memiliki institusi konseling, maka dia minta masyarakat mengembalikan para pelajar yang tangannya sudah bersimbah darah itu kembali menjadi pelajar yang normal.
Mangunwijaya muda, yang kala itu usianya sekitar 17 tahun, bergabung dalam pasukan TRIP sebagai kelompok pelajar paling muda. Ia mengaku ikut berbangga menjadi tentara, meski di batalyon yang dipimpin Mas Isman hanya jadi unthul alias figuran tak penting. Tugasnya sebagai tukang angkut barang, bengkel mobil, dan pekerjaan yang dinilai tak penting lain di dalam pasukan besar pelajar itu. Tetapi, pidato Mas Isman itulah yang mengubah hidup Mangunwijaya. Seusai perang, Mangun memutuskan menjadi pastur untuk mengabdikan hidupnya bagi kemanusiaan.
Sementara masa awal 1990-an itu, saya adalah wartawan muda yang beruntung. Kehausan ilmu yang sulit dipenuhi dengan membaca buku, banyak digantikan dengan mewawancarai berbagai tokoh. Sebagian di antaranya saya anggap sebagai guru. Ibarat santri kalong di pesantren jalanan, saya bisa memilih guru mengaji secara bebas ketika menjadi wartawan muda. Hasil wawancara saya rasakan luar biasa ketika saya tengok kembali saat ini. Dari pejabat, orang biasa, hingga para terpelajar berbagai kelompok. Bahkan mereka dengan status penjahat. Semua memberikan pelajaran penting dalam hidup.
Tentu saja saya mewawancarai banyak terpelajar Islam, karena saya berasal dari sana. Termasuk kalangan terpelajar Kristen-Protestan, Hindu-Budha, kebatinan, partai-partai yang tak diakui rezim Orde Baru, maupun yang bukan. Begitu pula wawancara dengan para mantan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga partai-partai Islam yang terlarang. Mereka terbuka diwawancara. Mereka meluangkan waktu ketika saya dalam tugas reportase atau hanya memanfaatkan waktu luang sekedar mencari tahu yang sesungguhnya terjadi pada masa lalu. Sekaligus minta penilaian mereka atas kejadian terkini.
Cerita Mangunwijaya tentang langkah Mas Isman, saya sampaikan kepada pembaca yang budiman untuk menjadi pembanding atas peristiwa konflik sosial 1965 yang ternyata masih belum dianggap selesai hingga saat ini. Ada kelompok orang yang masih merasa hidup dalam suasana perang melawan komunis dan menularkan situasi itu. Mereka merasa bahaya paham komunis harus diantisipasi dan dicegah. Apakah memang demikian?
Penulis; M. Faried Cahyono (jurnalis senior, peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM)