YOGYAKARTA – Pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2017/2018, pemerintah menerapkan Sistem zonasi yang lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah. Dengan begitu, sekolah termasuk yang menjadi sekolah rujukan mengabaikan seleksi berdasarkan nilai, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya.
Meski memunculkan sejumlah permasalahan bagi sebagian orang tua siswa terkait dengan pemenuhan persyaratan PPDB, khususnya yang berada di luar zonasi, namun penerapan sistem baru ini cukup mendapatkan apresiasi.
Aktivis Pendidikan dari Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi) Yogyakarta, Yuliani Putri Sunardi menilai penerapan sistem zonasi sangat mendekati keadilan, karena tidak berbasis nilai melainkan berdasar jarak, sehingga para orang tua termasuk dari Rumah Tangga Miskin di Kota Yogyakarta, dengan nilai yang sedang hingga rendah tetap bisa masuk di sekolah negeri.
“Selama ini kan anak-anak dari keluarga kurang mampu yang nilainya kurang bagus, sekolahnya di swasta,” kata Yuli saat dihubungi kabarkota.com, Senin (2/7/2018).
Menurutnya, sistem tersebut mendekatkan siswa dengan lingkungan sekolahnya, sehingga dapat menngurangi resiko kecelakaan dan kepadatan lalu-lintas di jalan. Hanya saja, Yuli berharap, kesiapan pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Terlebih, sebagian Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) rujukan akan menggunakan Satuan Kredit Semester (SKS).
“Kami berharap, lingkungan di sekolah (rujukan) itu tetap menerima semua siswa. Baru setelah masuk, bisa dilakukan seleksi untuk menentukan pilihan SKS-nya,” imbuh Yuli. Sebab jika dilakukan seleksi awal, hal tersebut justru melanggar aturan dan mengesankan sekolah masih ingin mempertahankan favoritnya.
Hal senada juga diungkapkan komisioner Lembaga Ombudsman DIY, Suki Ratnasari, saat dihubungi terpisah. Suki berharap, kebijakan SKS yang diterapkan di sekolah-sekolah rujukan tidak malah memunculkan diskriminasi antara siswa yang prestasi akademiknya tinggi dengan yang sedang ataupun bahkan rendah.
“Sistem zonasi memang baik untuk pemerataan kualitas pendidikan supaya tidak ada istilah sekolah terfavorit. Tapi, gurunya juga harus siap,” tegasnya.
Pada Tahun Ajaran 2017/2018 ini, ada tujuh SMP di kota Yogyakarta yang menerapkan SKS. Ketujuh sekolah yang dimaksud adalah SMPN 1, SMPN 2, SMPN 5, SMPN 7, SMPN 8, SMPN 16, dan SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Pelaksanaan SKS ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 158 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan SKS pada Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sementara Kepala SMPN 5 Yogyakarta, Suharno menjelaskan, sistem SKS ini memberikan kesempatan kepada siswa yang memiliki potensi lebih untuk menyelesaikan sekolah dengan lebih cepat. Siswa yang berpotensi mampu mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 80 lebih mudah, maka akan masuk dalam program empat semester (2 tahun). Sedangkan bagi siswa mencapai KKM 80 secara normal, maka masuk dalam program enam semester (3 tahun). Dan siswa yang memutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai KKM 80, maka akan masuk dalam program delapan semester (4 tahun) dan 10 semester (5 tahun).
“Untuk angkatan tahun 2018/2019, SMPN 5 Yogyakarta akan menerima kemampuan calon siswa yang lebih beragam kemampuan, maka program delapan semester dan 10 semester bisa terisi. Waktu mereka akan lebih lama memperoleh pendidikan di sekolah, agar mampu mencapai standar yang sudah diterapkan selama ini,” kata Suharno melalui laman SMPN 5 Yogyakarta, baru-baru ini.
Ditambahkan Suharno, guna mengetahui lebih awal calon siswa masuk dalam program 4, 6, 8 atau 10 semester, selain melihat dari hasil Ujian Akhir Sekolah Daerah (UASDA) Sekolah Dasar juga dari Tes Potensi Akademik (TPA) yang dilakukan SMPN 5 Yogyakarta, serta test psikologi yang akan diterapkan setelah diterima.
Pihaknya mengklaim, sistem SKS ini sekaligus sebagai upaya untuk mempertahankan kualitas pendidikan di sekolahnya sebagai sekolah rujukan. (Sutriyati)