Pasca Revisi, UU ITE Masih Mengancam Kebebasan

Diskusi Terbatas tentang Mengkritisi UU ITE dan Peluang Judicial Review, di PSKP UGM, Kamis (2/3/2017). (sutriyati/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Meski begitu, sejumlah pihak menilai bahwa pasca revisi, beberapa pasal dalam UU No 19 Tahun 2016 tersebut masih menjadi ancaman kebebasan. Tidak hanya bagi insan pers, tetapi juga blogger, netizen, dan masyarakat secara umum.

Bacaan Lainnya

Ervani Emi Handayani, salah satu korban UU ITE dari Yogyakarta mengaku, masa penahan oleh kejaksaan selama 20 hari yang ia jalani ketika terjerat pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, sangat merugikan dirinya. Terlebih, ketika pada akhirnya, ia terbebas dari segala dakwaan di persidangan.

“Bahkan ketika diputuskan (pengadilan) pada 5 Januari 2015 lalu, kejaksaan tetap memberi pelajaran kepada saya, dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dan awal April 2016, Kasasi juga ditolak. Saya baru benar-benar merasa lega sepenuhnya,” ungkap Ervani dalam Diskusi Terbatas tentang Mengkritisi UU ITE dan Peluang Judicial Review, di PSKP UGM, Kamis (2/3/2017).

Ervani merupakan satu dari ribuan korban UU ITE yang terpaksa berhadapan dengan hukum ketika menyampaikan curahan hatinya (curhat) di media sosial tentang kekecewaannya terhadap pihak perusahaan tempat suaminya bekerja. Karena pihak yang bersangkutan merasa tak terima dengan ungkapan kekecewaan itu, Ervani dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik.

Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Tommy Apriando berpendapat bahwa semestinya pasal 27 ayat 3 UU ITE itu semestinya dihapuskan. Meskipun dalam revisi sudah ada keringanan ancaman pidana, dari 6 tahun menjadi 4 tahun dan ancaman denda Rp 1 Milyar menjadi Rp 750 juta.

“Pasal itu seharusnya dihapuskan saja karena sangat dasyat dampaknya. Polisi bisa dengan menjerat orang dengan pasal berlapis, tapi untuk menjerat pengusaha dengan pasal berlapis sangat sulit,” kata Tommy yang juga jurnalis lingkungan ini.

Selain pasal 27 ayat 3, Tommy juga menyebut, pasal 40 tentang blocking content juga masih menjadi ancaman kebebasan bagi pers maupun citizen journalism, termasuk blogger. Pemblokiran, menurutnya, tidak bisa serta merta dilakukan hanya karena permintaan pihak tertentu, tetapi juga harus melalui prosedur yang jelas.

Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian, lanjut Tommy, right to be forgotten dengan penghapusan berita-berita yang sudah dimuat karena permintaan pihak tertentu, tanpa melalui hak jawab dan hak koreksi.

Sementara terkait dengan peluang pengajuan judicial reciew UU ITE, Dewan Pengawas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Yogyakarta, Nur Ismanto mengatakan, perlu memperhatikan beberapa aspek, seperti apakah ada cacat sosiologis, yuridis maupun sosiologis atau tidak dalam revisi tersebut. Selain itu juga mempertimbangkan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).

“Judicial Review itu bisa menjadi alternatif, tapi di luar itu juga ada banyak jalan yang bisa ditempuh,” tegasnya. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait