Petani Sawit, Sumbang Devisa Besar tapi Minim Perhatian

Diskusi Media Hari Tani: 108 Tahun Sawit Indonesia, Bagaimana Nasib Petani Kini?, di Yogyakarta, Selasa (24/9/2019). (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Indonesia meminta pemerintah lebih memperhatikan nasib petani petani sawit mandiri yang hingga kini kondisinya masih terhitung memprihatinkan.

Bacaan Lainnya

Sekretaris Jenderal (Sekjen) SPKS Indonesia, Mansetus Darto menganggap, pemerintah belum mengurus petani sawit mandiri secara keseluruhan. Padahal, sawit Indonesia hingga saat ini masih menjadi komoditas andalan devisa Negara, dengan kontribusi terbesar, yakni Rp 239 Triliun dari 43 juta ton Crude Palm Oil (CPO), pada tahun 2018. Sedangkan Petani berkontribusi sekitar 18 juta ton CPO, dengan rata-rata produksi dari kebun mereka sebanyak 3 ton CPO per hektar.

SPKS memperkirakan, dari total 5.7 juta hektar perkebunan sawit yang dikelola petani rakyat, 4.9 juta hektar diantaranya milik petani sawit mandiri.

“Tapi sayangnya, feedback dari Negara terhadap petani rakyat itu tidak ada tindakan praksis (praktek) di lapangan,” sesal Darto, dalam Diskusi Media Hari Tani yang menyoroti Nasib Petani Sawit Kini, di Yogyakarta, Selasa (24/9/2019).

Pihaknya mencontohkan, Pada tahun 2015 lalu, Pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No 61 Tahun 2015. Dana yang terkumpul saat ini mencapai sekitar Rp 35 Triliun. Namun, yang dikembalikan ke petani rakyat dalam jumlah sangat kecil. Itu pun salah satunya hanya digunakan untuk peremajaan tanaman sawit. Sedangkan mayoritas dananya justru digunakan untuk program pengembangan biofuel.

Hifdzil Alim selaku Direktur Hicon Law and Politic Strategy berpendapar bahwa pihak yang paling diuntungkan dari pengembangan biofuel itu bukan petani rakyat, melainkan korporasi-korporasi.

“Jadi yang sebenarnya salah bukan petaninya, tapi pemerintahnya. Riset kami di Kalbar dan Jambi itu menemukan bahwa dana itu tidak turun langsung ke petani,” jelas Hifdzil.

Selain itu, lanjut Hifdzil, banyaknya peraturan yang dibuat oleh pemerintah itu tidak ada satu pun yang menyentuh kehidupan petani kelapa sawit.

Oleh karenanya, Hifdzil mengaku, pihaknya pernah melakukan uji materi ke Mahkamah Agung terkait pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2015 karena dianggap keluar dari norma peraturan perundang-undangan. Namun, permohonan tersebut ditolak.

“Dari konteks perundang-undangan, petani kelapa sawit itu posisinya selalu di bawah,” ucapnya.

Sementara Direktur The Indonesian Power for Democracy (IPD) , Gregorius Sahdan menambahkan, sejatinya, tujuan awal masuknya sawit dan segala bentuk ekspansinya ke kehidupan petani di pedesaan itu untuk memperkuat ekonomi desa.

Hanya saja, menurutnya, hal tersebut malah menimbulkan distorsi ekonomi. Sebab, ketika petani sudah sangat tergantung pada sawit sebagai tumpuan harapan hidup mereka, pasar justru memainkan harga sawit sehingga membuat petani kehilangan penghasilan.

Petani sawit, sebut Sahdan, terus menjadi korban kebijakan pemerintah yang tak tepat sasaran, dan berpihak pada pengusaha sawit. Padahal, sekitar 12 juta penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit. (Rep-01)

Pos terkait