Petugas KPPS “Bartaruh Nyawa” di Pemilu 2019, Apa Evaluasi untuk KPU?

Ilustrasi: Proses penghitungan suara di salah satu TPS Kota Yogyakarta, pada 17 April 2019. (dok.kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Proses pencoblosan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) telah selesai digelar.

Bacaan Lainnya

Terlaksananya proses tersebut tak lepas dari kerja keras para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di masing-masing TPS. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang meninggal dunia dan jatuh sakit karena diduga kelelahan setelah puluhan jam bekerja non stop, untuk menyelesaikan proses penghitungan suara dari surat suara di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota, dan Pemilihan anggota DPD.

Berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sebagaimana disampaikan Ketua KPU RI, Arief Budiman di sejumlah media massa, Senin (22/4/2019), sedikitnya 90 petugas KPPS dari 19 provinsi meninggal dunia, dan 375 orang lainnya sakit sepanjang Pemilu 2019.

Khusus di wilayah Sleman, DIY juga ada catatan terkait petugas PPS yang meninggal dunia dan jatuh sakit. Ketua KPPS di TPS 11 Padukuhan Jetis IV, Desa Sidoagung, Kecamatan Godean, Subandri mengungkapkan, salah satu anggotanya sempat dilarikan ke rumah sakit karena kelelahan hingga mengalami dehidrasi, setelah menyelesaikan tugasnya di TPS selama 24 jam berturut-turut.

“Yang sakit sebenarnya banyak, hanya yang masuk rumah sakit satu orang,” kata Subandri kepada kabarkota.com, saat ditemui di halaman kantor KPU Sleman, Senin (22/4/2019).

Sementara anggota KPU Sleman, Ahmad Baehaqi menambahkan, di kecamatan Depok, Sleman, juga ada dua anggota KPPS yang diduga kelelahan hingga mengalami kecelakaan di jalan saat mengantar kotak suara ke PPS. Selain itu, seorang petugas KPPS di Kecamatan Sleman juga ada yang ditemukan meninggal dunia di rumahnya, dua hari setelah proses pemungutan suara selesai.

Menyikapi hal tersebut, Baehaqi menyatakan bahwa permasalahan itu menjadi bahan evaluasi KPU Sleman yang nantinya akan disampaikan pula ke KPU RI.

Pengamat: Pemilu Serentak, Berat Penyelenggaraannya

Dihubungi terpisah, Pengamat Pemilu, Hazwan Iskandar Jaya berpendapat bahwa Pemilu serentak memang berat dalam penyelenggaraannya. Terlebih jika tak diimbangi dengan pola rekrutmen yang baik.

“Proses rekrutmen KPPS yang waktunya mepet dan mendesak banyak dikeluhkan,” kata mantan anggota KPU Sleman ini kepada kabarkota.com.

Selain itu, lanjut Hazwan, terkait adanya regulasi yang tak membolehkan orang yang telah dua kali bertugas dalam Pemilu untuk terlibat lagi sebagai penyelenggara di Pemilu berikutnya.

“Jika sudah 2 kali jadi penyelenggara tidak boleh ikut lagi, maka menjadi berat bagi mereka yang belum berpengalaman, sehingga kerjanya keteteran,” anggapnya. Mengingat, Bimbingan Teknis untuk KPPS juga sangat mepet dengan waktu hari H Pemilu.

Sedangkan terkait administrasi penghitungan suara, Hazwan menilai, cukup rumit bagi KPPS, terutama dalam menghitung jumlah DPT, DPTb, DPK, DP Pindahan A5 dan DP Difabel. Ditambah dengan penjumlahan manual, sehingga memicu kelelahan dan membuat sebagian dari mereka stress.

“Belum lagi bila ada tekanan dari pengawas dan peserta (parpol atau caleg) yang semakin menambah beban,” sebutnya Hazwan.

Perlu Perbaikan Proses Rekrutmen

Untuk itu, Hazwan berharap, ke depan, proses rekrutmen benar-benar dimatangkan, dengan membuat keseimbangan antara anggota yang sudah berpengalaman dengan anggota baru.

Dari segi waktu untuk capacity building bagi KPPS, PPS, dan PPK, kata Hazwan, semestinya bisa dilakukan lebih awal agar pemahaman dan penguasaan teknisnya lebih baik.

“Koordinasi dengan stakeholder itu juga penting. Jangan merasa bahwa Pemilu ini hanya urusan penyelenggara saja. Partisipasi seluruh anak bangsa justru dibutuhkan,” tegasnya. (Rep-02)

Pos terkait