Politik Identitas dan Dampaknya dalam Pemilu

Ilustrasi (dok. nu)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu), politik identitas hampir selalu dimunculkan, yang ditandai dengan menguatnya isu-isu agama dan etnik sebagai “jalan pintas” bagi para kandidat untuk mengaet suara

Bacaan Lainnya

Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi berpendapat bahwa politik identitas menjadi fenomena yang tak terpisahkan di era pasca kebenaran (post truth), di mana kebenaran obyektif tidak lagi penting, melainkan kebenaran emosional (emotional truth) yang kadang mendapat persemayaman melalui media sosial.

“Emosi kalau berkaitan dengan atribut sosiologis, entah agama atau pun etnik itu gampang dimanipulasi atau digoreng untuk kepentingan elektoral,” jelas Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia ini kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis (28/3/2019).

Berdasarkan hasil risetnya, Burhan menyimpulkan bahwa politik identitas di Indonesia itu terjadi di wilayah yang komposisi agama dan etniknya tidak terlalu timpang. Dengan dengan demikian, politik identitas tak bisa dimainkan di semua daerah.

Biasanya, jelas Burhan, politik identitas berdampak terhadap kelompok-kelompok mayoritas. Namun, tak menutup kemungkinan, kelompok minoritas pun bisa memenangkan pertarungan, selama kelompok mayoritasnya terbelah.

“Kalau suatu wilayah sudah terbelah, maka secara sosiologis lebih mudah untuk memainkan politik identitas,” tegasnya.

Menurutnya, isu agama menjadi faktor penting dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, khususnya ketika ada perbedaan agama antarpasangan calon (paslon), sebagaimana yang terlihat di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.

Namun di level nasional, dalam hal ini Pilpres 2019, politik identitas tak bisa “bekerja” maksimal, meskipun salah satu capres digempur dengan isu-isu anti Islam. Sebab, capres yang bersangkutan berasal dari dua identitas mayoritas, yakni Muslim dan dari etnik Jawa.

“Meskipun ada serangan yang bertubi-tubi yang diarahkan… tetapi tidak bisa bermain pada level identitas keagamaan karena identitasnya sama, sehingga yang muncul kemudian isu-isu tentang kesalehan,” ucapnya. (Rep-02)

Pos terkait