Ilustrasi (dok. joss)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo, DIY membutuhkan infrastruktur pendukung, guna mendukung pengoperasian bandara baru tersebut nantinya.
Salah satunya, infrastruktur jalan untuk mempermudah akses menuju ke Bandara. Pemerintah pusat telah menggagas jalan tol Yogya – Solo yang juga akan terhubung langsung ke YIA.
Namun rencana tersebut belum mendapatkan persetujuan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) x karena dianggap tak akan banyak mendongkak perekonomian masyarakat DIY. Termasuk warga Kulon Progo.
Pembangunan Jalan Tol Memperluas Perampasan Lahan dan Pemukiman Warga
Salah seorang warga Kulon Progo, Herman juga menganggap, pembangunan tol di Yogyakarta tak penting karena sejauh ini sudah banyak jalur darat yang dibangun untuk akses menuju bandara.
“Pembangunan jalan menurut saya ujungnya hanya akan memambah penggusuran. Itu kan justru merugikan masyarakat kecil,” kata Herman saat dihubungi kabarkota.com, Minggu (23/6/2019).
Dihubungi terpisah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera berpendapat bahwa pembangunan jalan tol akan berdampak terhadap eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di wilayah lain.
“Pembangunan infrastruktur ini akan berdampak terhadap semakin luas perampasan ruang hidup, baik pemukiman atau lahan produktif,” ucapnya.
Semestinya, lanjut Halik, pembangunan infrastruktur diidasarkan pada penataan ruang yang berkeadilan dan kajian risiko.
“Rencananya, jalan tol ini kan menjadi salah satu pendukung bandara. Padahal bandara sendiri berada di kawasan rawan bencana dg risiko tinggi,” sesalnya.
Ketua MTI: Pemerataan Manfaat Tol tak bisa Terlihat dengan Cepat
Sementara pendapat berbeda disampaikan oleh Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bidang IPTEKS, Arif Wismadi yang menilai, jalan tol itu bagian dari jalan nasional yang bisa mendukung percepatan keluar masuknya barang dan jasa.
“Artinya, kalau ada konektivitas cepat, murah, dengan pelabuhan, titik-titik eksport, dan pelayanan jasa, maka Yogyakarta menjadi lebih kompetitif,” jelas Arif kepada kabarkota.com, baru-baru ini.
Terkait dengan penolakan tol Bandara oleh Sultan, Arif menambahkan, konsens Sultan adalah pada pemerataan manfaat
“Ini yang seringkali terjadi, v entuk-bentuk pemerataan manfaatnya tidak bisa terlihat dengan cepat atau terlihat langsung,” tegas pria yang juga Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM ini.
Pihaknya mencontohkan, beberapa daerah yang sebelumnya bisa digunakan warga untuk berjualan, ketika menjadi perlintasan tol justru tidak bisa digunakan lagi.
Hal demikian, menurut Arif bisa diminimalisir, jika di setiap fasilitas tempat pemberhentian, seperti exit dan rest area diutamakan bukan untuk investor, melainkan masyarakat lokal yang menyediakan pelayanan barang dan jasa bagi para pengguna jalan tol.
“Seharusnya masyarakat lokal mendapatkan akses yang cukup, jadi mereka bisa mendapatkan manfaat dari itu,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut Arif, titik-titik yang terkoneksi dengan pintu-pintu tol itu seharusnya juga terkoneksi langsung dengan kawasan-kawasan produksi maupun kawasan konsumsi. Jika ini dilakukan secara komprehensif, maka keberadaan tol semestinya bisa menumbuhkan dan juga memeratakan perekonomian di masyarakat. (Rep-01)