SLEMAN (kabarkota.com) – Peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Totok Dwi Antoro mengatakan pemberian izin pembangunan hotel di Yogyakarta tidak menjadi barang gratis. Totok menuturkan izin seolah telah menjadi komoditas bagi kepala daerah, termasuk di Yogyakarta.
“Meskipun ini belum mendapatkan indikasi konkret, namun pada wilayah itulah yang menjadi persoalan,” kata Totok dalam sesi diskusi pemutara film ‘Belakang Hotel’ di Pusat Studi Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH) UGM, Rabu (14/1) malam.
Menurutnya, itulah salah satu problem pendirian hotel yang saat ini terjadi di beberapa wilayah di Yogyakarta. Selain masalah perizinan, masalah lingkungan juga mengikuti usai bangunan berdiri. Beberapa wilayah di Kota Yogyakarta pada 2014 lalu, sebelum turun hujan, kesulitan memperoleh air. Sumur warga yang berada di dekat bangunan hotel sudah tak berada.
Kepala Pusat Studi Manajemen Bancana Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan para pemimpin dan termasuk warga di Yogyakarta tidak peduli dengan air. Ia mengatakan pembangunan hotel merupakan salah satu penyebab turunkan kuantitas air tanah di Yogyakarta, meskipun itu tidak mutlak.
Ia meminta warga di Yogyakarta, tak hanya yang berdampak akibat pembangunan hotel, namun juga para kepala daerah dab warga di perkampungan melakukan penaman air. “Kita tidak mungkin memanen terus tanpa ada yang menanam,” kata Eko.
Menanam air yang ia maksud dengan membuat sumur resapan. Air hasil sumur resapan ini menjadi salah satu usaha meminimalisasi terus menurunnya kadar air tanah di Yogyakarta. Selain membuat itu, pengolahan limbah air juga bisa menjadi jalan. Pengolahan limbah air ini bisa dibuat dengan cara menyedia tempat pembuangan khusus agar kemudian air bisa tersaring tanpa membawa sisa kotoran.
“Memayu Hayuning Bawana harus sampai pada kesejahteraan warga terkait ketersediaan air. Pemerintah Yogyakarta harus sadar dengan hal itu,” ujarnya.
Film ‘Belakang Hotel’ buatan kelompok Warga Berdaya mendapatkan respon positif dari penonton. Warga yang ikut nonton film ini di PKKH UGM juga tampak antusias. penonton yang ditarget maksimal 200 orang namun yang datang mencapai 500-an orang.
Film yang mengambil latar di Kota Yogyakarta, yakni di Miliran, Gowongan, dan Malioboro, ini mengisahkan warga yang mengalami kesulitan air. Setelah puluhan tahun tak mengalami kekeringan, warga merasakan sulit mendapatkan air karena diduga dampak dari pembangunan hotel.
Pegiat Warga Berdaya, Elanto Wijayanto, mengatakan film berdurasi 40 menit itu sudah dan akan terus diputar di kampung-kampung. Selasa (13/1) lalu, film tersebut sudah juga diputar di kampung Miliran. “Kami menginginkan ada kajian pemberian izin pembangunan hotel dan ketegasan pemerintah,” ujar Elanto.