Ilustrasi (dok. prakerja)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Kalangan buruh menjadi salah satu pihak yang sangat terdampak wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Karenanya, jelang peringatan Mayday 2020 banyak catatan Serikat Pekerja untuk pemerintah.
Pasalnya, dunia usaha yang terpukul sejak pandemi muncul, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga mengakibatkan para buruh kehilangan pekerjaan, karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun dirumahkan.
Di sisi lain, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Irsad Ade Irawan beranggapan bahwa pemerintah telah gagal dalam memberikan perlindungan bagi para buruh, lantaran tak mampu membendung gelombang PHK. Terlebih pihaknya menduga, ada proses yang cacat hukum dari pemberhentian kerja secara sepihak tersebut, karena tidak adanya pesangon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaaan.
Berdasarkan aduan sementara yang masuk ke DPD KSPSI DIY, sekitar 350 buruh di Sleman terkena PHK/dirumahkan, dan 800-an orang dari wilayah Bantul yang kebanyakan dari bidang usaha perhotelan.
Selain itu, menurutnya, ada salah kaprah pemerintah dalam memberikan solusi bagi buruh terkena PHK, melalui kartu prakerja yang teknisnya berupa pelatihan online
“Di tengah wabah, menurut kami, itu solusi yang tidak tepat, sebab yang mereka butuhkan adalah Subsidi atau bantuan langsung tunai kepada sehingga bisa memenuhi kebutuhan dasar, dan meningkatkan daya beli usai terkena PHK,” jelas Irsad kepada kabarkota.com, Kamis (30/4/2020).
Pemerintah, kata Irsad, justru terkesan lebih berpihak pada pengusaha dan menarik investor semata dibandingkan memberikan perlindungan bagi para buruh. Pertama, wacana Menteri Tenaga Kerja (Menaker) yang membolehkan pembayaran THR, dengan dicicil. Padahal itu tak sesuai ketentuan perundang-undangan.
Kedua, menyangkut isi Omnibus Law/Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang jelas lebih menguntungkan pengusaha ketimbang buruh, utamanya dalam hal sistem kontrak tanpa batas waktu, mempermudah PHK, sistem pengupahan yang merugikan buruh karena penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota, serta potensi menjamurnya outsourcing.
Meskipun, lanjut Irsad, setelah mendapatkan perlawanan keras dan ancaman aksi massa nasional, pemerintah akhirnya menunda Pembahasan Kluster Ketenagakerjaan.
“Ya sekedar ditunda, bukan dicabut,” ungkapnya.
Sementara, Umi Asih dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) Yogyakarta juga menyampaikan situasi yang sangat berbeda dialami oleh para buruh gendong dan perempuan pekerja sektor informal di DIY.
Asih menyebutkan, ada sekitar 1.000 buruh gendong dan perempuan pekerja dampingan Yasanti yang terdampak wabah Covid-19.
“Sebenarnya, semangat mereka untuk mencari nafkah tetap tinggi tetapi karena terbentur aturan pemerintah sehingga pasar-pasar sepi pengunjung sehingga buruh gendong dan anak-anaklah yang paling terdampak pandemi ini,” sesalnya.
Asih mengatakan, kini mereka bingung jika ingin keluar mencari nafkah. Sementara bantuan dari pemerintah untuk mereka juga belum ada.
“Harapan kami, apa yang sudah disampaikan Presiden di TV (terkait jaring pengaman sosial) bisa segera direalisasikan,” pintanya.
Terkait peringatan Mayday di tengah pandemi, Asih mengaku belum terpikirkan, karena dampak Covid-19 ini luar biasa, khususnya bagi para tenaga kerja perempuan, seperti buruh gendong dan pekerja rumahan maupun sektor informal. (Rep-02)