YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Ketua Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI), Muhammad menganggap saling serang antar tim pemenangan Capres-Cawapres jelang Pilpres 2014 merupakan pendidikan politik yang tidak sehat.
Hal itu disampaikan Muhammad, dalam Seminar dan Lokakarya: Evaluasi Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 di Indonesia, Selasa (24/6), di Inna Garuda Yogyakarta.
"Deklarasi damai hanya di bibir saja," anggap Muhammad. Mengingat, pihaknya telah menerima laporan dugaan pelanggaran dari masing-masing tim sukses pasangan calon, yang terkesan saling balas-membalas.
Muhammad juga menyesalkan sejumlah media khususnya televisi swasta nasional yang memihak pada salah satu pasangan capres-cawapres.
"Sebagian pengamat juga tidak sehat," ujarnya lagi.
Pihaknya menilai, pengamat yang dihadirkan di layar kaca memang sudah dipastikan mendukung salah satu pasangan capres. Untuk itu pihaknya meminta, agar masyarakat tidak terpengaruh pada media tersebut.
Selain itu Bawaslu RI juga meminta agar masyarakat juga dapat melakukan pengawasan partisipatif sebagai bagian dari pengawasan Pemilu.
"Jangan menjadi pemilih pasif, tapi sempatkan untuk mengamati sekitar TPS sejenak setelah melakukan pencoblosan," pinta Muhammad.
Jika hanya mengandalkan pengawas pemilu yang jumlahnya terbatas, dia khawatir masyarakat akan kecewa.
Lebih lanjut Muhammad juga berharap, meskipun saat ini hanya ada dua pasangan calon, namun tidak dilihat saling berhadap-hadapan, sehingga tidak ada sengketa di Bawaslu maupun Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami mengimbau agar semua pihak bisa mendinginkan situasi," tandasnya.
Sementara, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Anang Zubaidy berpendapat bahwa peran pers semestinya menjadi bagian dari pilar demokrasi yang tidak memihak pada kelompok atau partai tertentu. Tapi sayangnya, keberpihakan media itu terjadi.
"Ini memengaruhi rasionalitas pemilih," kata Anang.
Selain persoalan media massa, rasionalitas pemilih juga dipengaruhi oleh gelombang penggunaan media sosial, yang cenderung digunakan untuk melakukan black campaign maupun negative campaign.
Sebagai rekomendasi, Anang menyebutkan, berbagai pihak seperti pemerintah, peserta pemilu, peran pers, serta masyarakat, khususnya kalangan menengah yang dalam hal ini adalah kalangan terdidik atau akademisi.
"Rasionalitas pemilih ini harus menjadi garapan bersama," tegasnya. (jid/tri)