Sultan Didesak Hentikan Pertambangan di Daerah Aliran Sungai

Konferensi pers Pernyataan Sikap Bersama Warga Korban Tambang Yogyakarta, di kantor LBH Yogyakarta, pada 7 Juni 2022. (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Satu per satu dari lima warga yang didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta buka suara terkait pertambangan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah masing-masing.

Bacaan Lainnya

Mereka adalah perwakilan warga terdampak penambangan pasir dan batu yang terdiri atas lima komunitas. Yakni, 1) Paguyuban Masyarakat Kali Progo/PMKP (warga Jomboran, Nanggulan, Pundak Wetan dan Wiyu); 2) Paguyuban Sindu Tolak Asat (PSTA); 3) Paguyuban Pelestari Progo (warga Banaran); 4) Kelompok Pelestari Progo (warga Srandakan); dan 5) Paguyuban Pelestari Sumber Mata Air di hulu Sungai Boyong (warga Turgo).

Perwakilan PMKP, Tandi mengungkapkan bahwa sejak tahun 2017 hingga sekarang, masalah antara masyarakat dan korporasi pertambangan yang mengeksploitasi tepi Sungai Progo.

“Mereka tidak melakukan sosialisasi ataupun membuat kesepakatan dengan masyarakat,” sesal Tendi, di Kantor LBH Yogyakarta, 7 Juni 2022.

Menurutnya ada empat dusun yang warganya terdampak buruk pertambangan tersebut. Diantaranya, tebing sekitar lokasi pertambangan sering longsor, air sumur warga sebagian juga keruh dan bahkan kering, tetapi tidak ada tindaklanjut dari pihak terkait.

Selain itu, lanjut Tendi, beberapa warga juga mendapatkan kriminalisasi dari aparat keamanan karena menolak pertambangan di sana.

“Kami bersama warga berharap persoalan di PMKP segera terselesaikan. Dampaknya masyarakat bisa tinggal seperti biasanya, dengan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat,” pintanya.

Kondisi hampir sama juga dialami warga PSTA, Saryanto yang tinggal di dekat Sungai Gendol, Kapanewon Ngemplak, Sleman.

Saryanto menjelaskan bahwa panitia prona tanah dianggap sebagai perwakilan warga yang setuju dengan rencana pertambangan yang akan dilakukan oleh salah satu CV. Sementara warga yang tidak setuju diancam akan dibawa ke pengadilan. Bahkan, pihak korporasi juga sudah mendirikan bangunan yang akan dijadikan kantor pusat untuk Kapanewon Ngempak, dan Cangkringan.

“Perizinan sudah sampai DLH dan sekarang tinggal menunggu izin operasional,” katanya.

Padahal berdasarkan data yang dimiliki PSTA, ketika Sungai Gendol di daerah Sidumartani dan Cangkringan ditambang, maka secara finansial, warga kehilangan sekitar Rp. 10 Miliar per tahun, karena hampir 10 dusun yang memanfaatkan air Sungai Gendol untuk konsumsi air bersih. Selain itu, air sungai juga dimanfaatkan oleh warga untuk bercocok tanam, perikanan, dll.

“Ketika itu dieksploitasi, maka warga tidak punya hak untuk memanfaatkan,” anggapnya.

Saryanto mengklaim bahwa untuk sementara ini, perjuangan mereka untuk mencegah pertambangan pasir di wilayahnya terhitung berhasil, karena izin pengoperasian yang diajukan oleh CV belum turun hingga sekarang.

Sementara kriminalisasi yang terjadi, dalam bentuk pencopotan spanduk-spanduk penolakan yang dipasang warga di sepanjang tepi sungai dan tepi jalan.

Ada juga beberapa warga, termasuk aparat dan guru di kalurahan setempat yang akhirnya dipanggil oleh instansinya masing-masing dan diminta untuk tidak ikut-ikutan menolak tambang.

Cerita selanjutnya datang dari warga Banaran, Agung yang menyampaikan bahwa mulai tahun 2016-2917, terdapat 10 penambangan pasir dengan mesin dan alat berat di Sungai progo, khususnya di Kalurahan Banaran. Mereka secara resmi telah mengantongi izin UKL-UPL. Akibatnya, jalan utama di Kalurahan Banaran rusak parah karena menjadi jalur transportasi angkutan hasil tambang, dan tidak segera diperbaiki hingga mengakibatkan sektor ekonomi masyarakat sekitar hampir mati.

“Sumur warga juga sudah mulai kering, dan saluran irigasi rusak. Habitat sungai Progo juga sudah beralih ke habitat air asin,” ungkap Agung.

Pihaknya khawatir, jika nantinya air asin itu masuk ke sumur-sumur warga, maka akan terjadi bencana besar bagi warga di 13 padukuhan. Ditambah lagi sekarang ada pengajuan izin pertambangan baru seluas 36 hektar yang sebagian merupakan tanah-tanah dengan letter C dan tanah bersertifikat hak milik warga.

“Kalau ini sampai terjadi, maka akan terjadi penolakan yang sangat besar di Kalurahan kami. Mungkin kalau kemarin masih 1-2 dusun yang menolak, kalau PT ini nanti juga melakukan penambangan, maka bisa saja terjadi pertumpahan darah karena itu tanah2 hak milik yang berdekatan dengan Sungai Progo,” kata Agung.

LBH Yogya: Fenomena Penambangan Masif karena Kebijakan Pembangunan Nasional

Semetara Wandi Nasution dari LBH Yogyakarta berpendapat bahwa masifnya fenomena pertambagan khususnya di Yogyakarta saat ini dipengaruhi oleh kebijakan Pembangunan Nasional yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur fisik.

“Kebijakan pembangunan nasional yang lebih menitik-beratkan pada pembangunan infrastruktur fisik ini melahirkan perebutan ruang hidup. Bahwa hari ini warga bertarung dengan pemerintah dan korporasi untuk mempertahankan kelestarian ruang-ruang hidupnya,” jelas Wandi.

Pihaknya juga menempatkan warga yang terdampak pertambangan itu bukan sebagai korban kebijakan pemerintah, melainkan para pejuang lingkungan yang dilindungi undang-undang.

“Pejuang lingkungan itu tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata. Artinya Negara sebenarnya mempunyai instrumen, tapi lagi-lagi realitasnya di lapangan tidak seperti itu. Bukan memberikan perlindungan terhadap warga, tetapi terkadang banyak kasus, negara melalui aparat keamanannya justru terlibat dalam kriminalisasi dan intimidasi,” sesalnya.

Walhi: Warga Negara Berhak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Abimanyu dari Walhi Yogyakarta menambahkan, pada pada prinsipnya warga negara mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun seringkali yang terjadi dalam penerbitan izin penambangan, baik korporasi maupun pemerintah itu justru tidak melibatkan masyarakat. Padahal, partisipasi masyarakat itu penting karena mereka yang paling memahami kondisi di lingkungan sekitarnya.

“Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perizinan. Ini yang seringkali menjadi rancu, maka tidak heran jika seringkali aktivitas pertambangan itu merusak lingkungan. Meskipun secara official mereka mengantongi izin, tetapi dalam praktiknya mereka melakukan pelanggaran,” ucapnya.

Warga Desak Sultan Hentikan Pertambangan yang Merusak Lingkungan

Oleh karena itu, pada kesempatan tersebut, salah satu tuntutan warga adalah mendesak agar pemerintah mencabut izin usaha tambang di daerah aliran sungai di Yogyakarta.

“Kami mendesak kepada Sri Sultan X selaku Gubernur DIY untuk menghentikan segala bentuk aktivitas tambang yang merusak lingkungan di Yogyakarta, dan bertangung jawab atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi,” pinta mereka dalam pernyataan sikap bersama Korban Tambang Yogyakarta. (Rep-01)

Pos terkait