UU ITE Direvisi, Indeks Kebebasan Berinternet di Indonesia masih Buruk

Diskusi Publik “Dari Jari Berujung Bui: Kriminalisasi Ekspresi di Era Digital, di Condong Catur Sleman, Sabtu (4/8/2018) malam. (sutriyati/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diharapkan bisa menghapus sejumlah pasal karet yang cenderung dipakai untuk mengkriminalisasi dan mengekang kebebasan berekspresi di dunia maya. Diantaranya pasal pencemaran nama baik (pasal 27 ayat 3), pasal penodaan agama (pasal 28 ayat 2), dan pasal tentang ancaman (29).

Bacaan Lainnya

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Sejak Undang-Undang No 19 Tahun 2016 yang merupakan hasil revisi dari UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE disahkan pada 28 November 2016 lalu hingga kini masih menyisakan persoalan kebebasan berespresi yang malah kian memburuk. Catatan Safenet menunjukkan, sejak setahun revisi UU ITE disahkan, sebanyak 385 warga net dilaporkan ke kepolisian atas kasus dugaan pencemaran nama baik (365 kasus), dugaan penodaan agama (21 kasus), dan pengacaman online (1 kasus).

Selain itu, Ervani Emi Handayani dari Safenet memaparkan, sepanjang tahun 2017, ada 100 kasus persekusi yang 12 kasus diantaranya telah diadili dan dinyatakan bersalah, dengan lama hukuman antara 2 – 4 tahun penjara. Sementara di Asia, indeks kebebasan berinternet di Indonesia selama lima tahun terakhir juga memburuk.

Posisi Indonesia saat ini berada di skala 47 atau yang terburuk dalam kurun waktu 5 tahun ini. Dalam kondisi ini, Indonesia kalah jauh dari Filipina yang skalanya 28, Singapura 41, dan Malaysia skalanya 44. “Angka skala yang makin tinggi itu menandakan makin buruk,” jelas Ervani dalam Diskusi Publik “Dari Jari Berujung Bui: Kriminalisasi Ekspresi di Era Digital, di Condong Catur Sleman, Sabtu (4/8/2018) malam.

Pihaknya menganggap, perubahan sejumlah pasal di UU ITE tak memberikan pengaruh yang signifikan. Misalnya, Ervani yang juga pernah menjadi korban kriminalisasi UU ITE ini menyebut, pasal 27 ayat 3 yang hanya menegaskan bahwa pencemaran nama baik merupakan delik aduan. “Sebenarnya ini tak banyak berpengaruh  karena sejak awal memang delik aduan, hanya saja kebanyakan aparat penegak hukum sering tak memahami itu,” sesalnya.

Begitu juga pasal 45 UU ITE yang hanya mampu memgurangi resiko penahanan sebelum sidang. Itu, kata Ervani, tak akan menyelesaikan masalah pemidanaan penjara. Kemudian, tidak diubahnya pasal 28 ayat 2 dan pasal 29 berpotensi mendorong munculnya pelaporan kasus dugaan penodaan agama dan pengancaman yang definisinya diartikan seenaknya saja dan cenderung mengada-ada.

Senada dengan Ervani, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli menilai, selama ini belum ada tolok ukur yang obyektif untuk mengukur penghinaan.

“Kami memandang ini (pasal 27 ayat 3) bermasalah dari sisi norma. Orang kemudian bisa menggunakannya dengan sesuka hati,” anggap Yogi. Terlebih di tahun politik jelang Pemilu seperti sekarang, di mana media sosial akan ramai dengan serangan-serangan.

Sementara, dosen Cyber Crime dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), A. Wisnubroto berpendapat bahwa sebenarnya tujuan UU ITE itu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dan menanamkan nilai-nilai dalam pergaulan di dunia maya sehingga secara akademik tak bermasalah. “Jadi sebenarnya untuk menyeimbangkan antara kebebasan dan nilai-nilai,” sebut Wisnu.

Hanya saja, aplikasi yang tak sesuai kemudian memunculkan berbagai persoalan tersebut. Namun begitu, Wisnu menganggap, kasus-kasus dugaan pencemaran nama baik, semestinya idak selalu harus diselesaikan dengan jalur hukum pidana. Aparat bisa merampungkannya dengan jalan mediasi.

“Lembaga Negara itu sekarang mengeluarkan biaya besar hanya untuk mengurusi orang-orang yang tersinggung,” sesalnya. Sementara kasus-kasus besar seperti korupsi menjadi terabaikan. (sutriyati)

Pos terkait