Ilustrasi: luapan air sungai yang terjadi di Gunung Kidul, pada 17 Maret 2019 (dok. fb bpbd gk)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga, bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di DIY pada 17 Maret 2019 karena berbagai faktor.
Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera berpendapat bahwa selain karena faktor cuaca, bencana tersebut juga dipicu oleh perubahan bentang lahan di wilayah DIY. Di wilayah Sleman dan Kota Yogyakarta, marak terjadi alih fungsi lahan untuk pemukiman, khususnya perumahan dan bangunan skala besar, sehingga saat hujan, air mengalir di permukaan,
Menurutnya, wilayah resapan air yang menyempit sementara air yang mengalir di permukaan terlalu banyak, maka masuk ke drainase atau sungai. Ketika kapasitas alur sungai tidak bisa menampung dan meluap, makan air hujan di wilayah Bantul justru tidak bisa mengalir ke sungai, sehingga air hujan mengalir ke wilayah dataran rendah, baik di pemukiman maupun sawah yang menyebabkan banjir atau genangan.
“Setiap wilayah punya batas daya tampung. Kalau hujannya hanya terjadi di Bantul, secara daya tampung mungkin tidak terlampir dan tidak terjadi banjir,” kata Halik kepada kabarkota.com, Selasa (19/3/2019).
Namun, banjir yang terjadi di hilir (Bantul), airnya sebagian berasal dari hulunya, yakni Sleman dan Kota Yogyakarta. Sedangkan di Gunung Kidul, banjir dan tanah longsor bisa dipicu akibat kerusakan bentang alam karst sehingga fungsi semakin berkurang.
Hal itu, lanjut Halik, tak lepas dari aspek kebijakan yang masih sangat lemah, baik dari sisi pengawasan maupun pengaman hukum terhadap pelanggaran Ruang dan kewajiban membuat sumur resapan sebagai syarat IMB dari setiap 60 meter persegi yang terbangun.
Untuk itu, Walhi berharap agar peran peran provinsi ditingkatkan, melalui koordinasi antar wilayah dalam perencanaan tata ruang di kabupaten/kota yang mengacu pada RTRW provinsi. (Rep-01)