Gerry van Klinken (kiri) dan Ward Berenschot (kanan). (dok. humas ugm)
SLEMAN (kabarkota.com) – Fenomena politik transaksional masih mewarnai proses Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Peneliti asal Belanda, Ward Berenschot menganggap, fenomena tersebut memiliki kaitan erat dengan mahalnya biaya politik.
“Untuk menguatkan demokrasi Indonesia, saya pikir penting untuk memikirkan bagaimana menurunkan biaya politik,” kata Barenschot dalam Diskusi Bedah Buku “Democrazy for Sale”?, di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM, Kamis (18/4/2019).
Buku yang ia tulis bersama Edward Aspinall, Ward tersebut menggambarkan politik dan demokrasi di Indonesia dalam ruang informal yang jarang ditelaah oleh banyak studi politik.
Menurutnya, politik transaksional yang salah satunya berbentuk jual beli suara dalam Pemilu merupakan praktik yang khas dalam politik informal Indonesia. Meskipun, isu politik transaksional juga ditemukan di negara-negara lain, seperti Argentina dan India.
Ia berpendapat bahwa biaya politik yang tinggi sangat perlu dibatasi, karena menjadi akar penyebab terjadinya praktik korupsi, politik oligarkis, dan melemaukan tatanan pemerintahan.
Oleh karenanya, perlu reformasi elektoral untuk mengubah incentive structure yang dihadapi oleh politisi, sekaligus menekan ongkos politik.
“Reformasi pemilu sangat dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengubah open list system partai untuk pemilihan parlemen,” paparnya. Selain itu juga dengan penguatan pengawasan kampanye serta mengintegrasikan pemilihan parlemen dan pemilihan kepala daerah.
Pada kesempatan tersebut, dosen DPP Fisipol UGM, Mada Sukmajati memberikan apresiasi kepada Ward karena dianggap mampu menangkap persoalan politik di Indonesia, melalui kajian mendalam yang ia lakukan.
“Buku yang ditulis oleh Ward ini memberikan gambaran terkait praktik demokrasi patronase di Indonesia. Ini buku yang tidak disusun secara instan, tetapi merupakan refleksi dari beberapa kajian,” tuturnya.
Selain buku Democracy for Sale, buku lain yang dibedah dalam acara ini adalah “Citizenship in Indonesia” yang disunting oleh Ward bersama Gerry van Klinken. Buku ini menawarkan berbagai perspektif mengenai citizenship yang menurut Gerry tidak bisa semata-mata dimaknai dalam konteks kewarganegaraan yang selama ini dikenal.
“Kami berusaha membangun kerangka baru tentang apa itu citizenship. Kalau cuma soal pegang KTP, itu tidak cukup,” terang Gerry.
Konsep citizenship yang dibangun berdasarkan pemahaman di dunia barat, lanjut Gerry, tidak berlaku di Indonesia. Karenanya, diperlukan konsep baru yang dinamis, di mana seorang citizen dapat menuntut hak, memiliki identitas, dan berpartisipasi dalam membangun lingkungannya.
Secara lebih spesifik, para kontributor buku ini menuliskan contoh-contoh kasus terkait pemahaman terhadap citizenship, salah satunya berupa kajuan terkait konflik kepemilikan lahan hutan oleh masyarakat adat. (Ed-01)