Definisi Ilmu Ekonomi itu apa? (Mengurai Salah Kaprah dan Menemukan Jalan Etis)

Ilustrasi (dok. kabarkota.com)

Banyak orang keliru memahami apa itu ilmu ekonomi dan bagaimana seharusnya bersikap, khususnya dalam berbisnis.

Bacaan Lainnya

Di tengah masyarakat, berkembang anggapan bahwa inti dari ekonomi—terutama dalam praktik usaha—adalah soal bagaimana meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya.

Pandangan ini terdengar logis, bahkan efisien. Namun tanpa panduan nilai moral dan iman, cara pikir semacam ini mudah berubah menjadi pembenaran atas keserakahan.

Perbincangan soal definisi ekonomi sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Para ekonom merumuskan pandangannya masing-masing.

Pada masa awal, definisi ilmu ekonomi berlandaskan nilai moral. Ekonom Barat klasik seperti Adam Smith, yang juga seorang filsuf moral, dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) memandang, ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari kekayaan bangsa dan bagaimana cara meningkatkannya.

Fokus utamanya pada produksi, distribusi, dan akumulasi kekayaan. Namun pendekatan ini dikritik karena dianggap terlalu materialistis dan mengabaikan dimensi kesejahteraan manusia secara utuh.

Alfred Marshall, ekonom neoklasik awal, mencoba menyempurnakan pendekatan itu. Dalam bukunya Principles of Economics (1890), ia menyatakan bahwa ekonomi adalah studi tentang manusia dalam kehidupan sehari-hari, dalam upaya memperoleh dan menggunakan barang yang dibutuhkan.

Marshall menekankan kesejahteraan, bukan sekadar kekayaan, dengan memasukkan aspek sosial dan psikologis dalam kerangka ekonomi.

Pasca perang dunia kedua ada Paul A. Samuelson, ini ekonom masa modern dari Amerika peraih Nobel, dan bukunya Economics, dipakai disemua kampus di masa Orde Baru dan sesudahnya, mendefinisikan ekonomi secara lebih luas.

Ilmu ekonomi sebagai ilmu tentang bagaimana manusia dan masyarakat memilih, dengan atau tanpa uang, untuk memanfaatkan sumber daya terbatas yang memiliki banyak alternatif guna memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa, baik untuk kebutuhan saat ini maupun masa depan.

Definisi Smith ini mengajak kita melihat ekonomi tidak hanya sebagai urusan efisiensi, tetapi juga keadilan, distribusi, dan keberlanjutan sosial.

Namun, kita juga melihat ada pendekatan yang sempit namun dominan. Pada 1932, Lionel Robbins menyederhanakan definisi, yang sangat berpengaruh, ilmu ekonomi adalah “ilmu yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan yang tak terbatas dan alat-alat terbatas yang memiliki berbagai alternatif penggunaan.” Definisi Robbins sebagaimana dibuat Robbins ini sempat dominan dan bahkan sampai sekarang.

Tentu ada kritik. Karena meski logis dan netral dari sudut pandang ilmu murni, definisi Robbins banyak dikritik karena terlalu individualistik, mengabaikan konteks sosial, keadilan, dan kebutuhan pembangunan di negara-negara berkembang.

Kritik tajam terhadap pendekatan Robbins datang salah satunya dari Indonesia. Prof. Roekmono Markam, S.H., dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada 19 September 1978, yang kemudian diterbitkan ulang oleh Majalah Prisma tahun 1980. Judulnya, “Menuju ke Definisi Ekonomi Post-Robbins”, ia menawarkan pendekatan yang lebih kontekstual.

Menurutnya, ekonomi seharusnya tidak semata membahas kelangkaan dan pilihan individu, melainkan juga menempatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, dan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari kerangka berpikir utamanya.

Bagi Prof. Roekmono, ekonomi yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan justru menciptakan ketimpangan, kehancuran lingkungan, dan konflik berkepanjangan.

Di akhir naskah Roekmono Markam menyampaikan adanya dilema moral pertumbuhan ekonomi berbasis Industri senjata. Ada kegelisahan etis tentang arah pertumbuhan ekonomi dunia. Ia menyoroti fenomena military-industrial complex—kerjasama erat antara negara, militer, dan industri senjata—yang muncul di negara-negara pemenang Perang Dunia II.

Industri senjata menjadi tulang punggung ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan mendukung pertumbuhan. Tapi di balik itu, muncul dilema moral besar: senjata butuh pasar, dan pasar itu muncul ketika perang terjadi. Dan perang bisa diciptakan.

Logika ekonomi konvensional mendorong produksi berkelanjutan. Namun senjata bukan barang konsumsi biasa. Ia hanya punya “nilai pakai” ketika digunakan—yaitu dalam konflik bersenjata. Maka, agar roda ekonomi tetap berputar, konflik harus terus diciptakan atau dipelihara. Di sinilah pertumbuhan ekonomi bisa berubah menjadi mesin penderitaan.

Prof. Roekmono mempertanyakan: apakah pertumbuhan ekonomi yang berdiri di atas penderitaan manusia dan kehancuran negara lain layak disebut sebagai kemajuan? Apakah industri yang menciptakan pekerjaan, namun menopang perang, masih bisa dibenarkan secara moral?

Kritik ini membuka ruang refleksi: tidak semua bentuk pertumbuhan itu baik. Dalam logika efisiensi, produksi senjata rasional. Tapi dalam perspektif keadilan sosial dan kemanusiaan, ini adalah kegagalan besar dari sistem ekonomi global. Dan sayangnya, kegagalan ini terus berlangsung hingga hari ini.

Relevansi Bagi Indonesia
Di masa Orde Baru, Indonesia sempat ditawari jalan pintas untuk mengembangkan industri senjata demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Pasar senjata dianggap stabil, karena konflik dapat diciptakan di mana saja.

Namun, menurut Prof. Ace Partadireja—dosen ekonomi ASEAN UGM di akhir 1980-an—pemerintah saat itu menolaknya karena alasan etis dan konstitusional. Indonesia memilih jalur industri manufaktur dan teknologi yang lebih damai, selaras dengan amanat konstitusi untuk turut menjaga perdamaian dunia.

Kini, tantangan serupa hadir dalam bentuk baru. Indonesia dan negara berkembang lainnya tidak boleh hanya menjadi pasar atau penonton dalam arsitektur ekonomi global yang tidak adil.

Pesan Prof. Roekmono sangat relevan: kita butuh definisi ekonomi yang tidak sempit, yang berpihak pada manusia, alam, dan perdamaian. Pertumbuhan sejati bukan semata urusan angka, tetapi soal nilai. Ekonomi bukan hanya tentang apa yang bisa diproduksi dan dijual, tetapi tentang masa depan seperti apa yang ingin kita bangun bersama.

Tulisan ini juga telah dipublikasikan di laman facebook M Faried Cahyono

Pos terkait