YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Padang menunjukkan bahwa persoalan kebencanaan di daerah tersebut tidak terlepas dari arah kebijakan pembangunan nasional. Alih-alih sekadar fenomena alam, bencana tersebut lebih tepat dipahami sebagai persoalan struktural yang lahir dari tata kelola ruang, regulasi, dan pilihan politik negara dalam mengelola sumber daya alam.
Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof. Sugeng Bayu Wahyono menegaskan bahwa akar persoalan banjir berada pada ranah kebijakan dan kepemimpinan.
“Itu soal tata kelola ruang, pemerintahan, dan juga terkait dengan leadership,” kata Sugeng dalam podcast our concern di kanal youtube M. Faried Cahyono, pada 19 Desember 2025.
Pihaknya berpendapat bahwa sebenarnya, banjir dapat dicegah karena lebih banyak dipicu oleh intervensi manusia terhadap alam. Banjir perlu dibaca dari perspektif politik dan sosiologis, bukan semata sebagai peristiwa alamiah.
“Jadi, sebenarnya ini bisa dihindari, karena bencana banjir ini cenderung karena intervensi manusia sehingga diskusi dari perspektif politik, dan sosiologis masyarakatnya menjadi relevan dan urgen,” katanya.
Sugeng juga menekankan tentang pentingnya membedakan antara bencana alam murni dan bencana akibat kebijakan. “Bencana alam murni itu misalnya gempa bumi dan gunung meletus,” jelasnya. Sementara dalam konteks Sumatera, banjir sebagai konsekuensi dari pilihan pembangunan negara sejak lama.
“Saya kira bukan sesuatu yang mengejutkan karena ini merupakan efek dari pilihan pemerintah Indonesia dalam melakukan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup secara ekonomi, politik, dan sosial,” sambungnya.
Lebih lanjut, pihaknya menerangkan, sejak era Orde Baru (Orba), Indonesia mengadopsi pendekatan pembangunanisme atau developmentalism. Namun dalam implementasinya, konsep tersebut tidak dipahami secara mendalam. Padahal sebenarnya, pembangunanisme bukan konsep yang keliru. Hanya saja, persoalan muncul ketika pembangunan lebih mengandalkan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), dibanding peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia.
“Selama ini, developmentalisme di Indonesia itu selalu fokus pada bagaimana mengelola SDA. Tapi sayangnya, itu tidak dikelola dengan baik, karena hasilnya hanya dijual mentah. Termasuk hasil hutan dan tambang,” sesalnya. Itu sudah berlangsung secara sistematis sejak era Orba hingga reformasi sehignga mengakibatkan kerusakan hutan yang parah, terutama di Sumatera dan Kalimantan.
Selain itu, ungkap Sugeng, Kebijakan otonomi daerah juga turut memperparah persoalan kerusakan alam, karena kewenangan pengelolaan SDA oleh Pemerintah Daerah (Pemda) tidak diiringi kontrol struktural yang kuat. Bahkan, dalam praktik politik ekonomi daerah, mereka seringkali berhadapan dengan kepentingan pebisnis dan investor. Salah satunya, perkebunan sawit yang menyebabkan deforestasi.
“Jadi tata kelolanya itu memang ada something’s wrong (sesuatu yang salah) dalam memahami konsep developmentarisme,” tegasnya.
Terkait dampak kerusakan lingkungan, Sugeng menyebut, itu bersifat struktural. Namun ironisnya, respons negara terhadap bencana kerap bersifat individual dan simbolik.
Oleh karena itu, Sugeng bepandangan tentang perlunya pergeseran penanganan bencana, dari respon yang sifatnya individual dan simbolik menjadi penangnanan bencana yang sifatnya preventif, dengan pendekatan struktural dan kultural.
“Hal yang terpenting adalah kolaborasi pemerintah dan masyarakat,” katanya.
Sebab di alam demokrasi, lanjut Sugeng, figur memang penting, tetapi masyarakat juga tak kalah penting. Mereka harus ikut berpartisipasi, dan berkolaborasi dengan pemerintah untuk segera melakukan recovery, bukan justru saling menyalahkan atau pun saling tuduh dalam situasi yang darurat seperti ini.
“Daripada membuang energi untuk hal yang negatif, seperti ngambek politik ingin merdeka, itu tidak produktif,” tuturnya. Masyarakat dan pemerintah perlu membangun komunikasi yang baik untuk melakukan hal yang produktif. (Rep-01)







