Karyawan dan Keluarga Positif Corona, Kasus Soto Lamongan di Yogya jadi Klaster Baru

Warung Soto Lamongan yang masih ditutup sejak ditemukan kasus positif, baru-baru ini (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Poerwadi mengatakan, ditemukan 10 kasus positif baru dari hasil tracing kasus Covid-19 di salah satu warung Soto Lamongan di Kota Yogyakarta. Mereka adalah keluarga, dan karyawan di warung tersebut.

“Oleh karena itu, Soto Lamongan sudah menjadi klaster baru di Kota Yogyakarta,” kata Ketua Harian Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kota Yogyakarta ini, Sabtu (29/8/2020).

Pihaknya meminta agar para pembeli di warung soto Lamongan yang datang pada bulan Agustus segera memeriksakan diri di layanan kesehatan terdekat. Blocking kasus harus dilakukan agar penularan tak meluas.

“Bagi yang sudah melakukan isolasi mandiri, harus selalu memakai masker, tetap berada di rumah, serta membatasi sentuhan dengan barang-barang selama 14 hari,” harapnya.

Menurutnya, hingga kini telah ada 19 orang yang menjalani tes swab, dan masih ada satu anggota keluarga yang melakukannya.

Selain klaster baru Soto Lamongan, lanjut Heroe, di Kota Yogyakarta juga ada penambahan kasus transmisi lokal dari karyawan swasta dengan mobilitas transportasi.

“Dari hasil tracing terhadap keluarga, semua riwayat kontak ditemukan lima kasus baru,” ungkapnya.

Namun demikian, Heroe menyatakan, mereka juga harus melakukan mandiri karena tergolong asimptomatis atau tanpa gejala.

“Selebihnya ada dua kasus karena riwayat perjalanan luar kota,” imbuhnya.

Untuk itu, Wakil Walikota menambahkan, pihaknya akan melakukan pengetatan monitoring terhadap semua fasilitas layanan publik. Di samping mengimbau agar masyarakat juga memperketat diri dalam menaati protokol Covid-19 di tengah pandemi yang belum berakhir.

Sementara, Juru Bicara Pemda DIY, Berty Murtiningsih menyebutkan, berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan terkonfirmasi positif, ada penambahan 47 kasus baru di DIY, per 29 Agustus 2020. Dari jumlah tersebut, 16 kasus diantaranya berdomisili di Kota Yogyakarta. Sedangkan secara akumulatif, hingga kini, jumlah kasus positif Covid-19 di DIY mencapai 1.373 kasus. (Rep-01)

12 Juta Pelaku Usaha Kecil akan Dapat Banpres Rp 2.4 juta

Presiden RI, Joko Widodo (dok. screenshoot setpres)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sebanyak 12 juta pelaku usaha kecil di Indonesia akan mendapatkan Banpres senilai Rp 2.4 juta per orang, dalam bentuk modal usaha.

Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, tambahan modal usaha tersebut diberikan agar para pelaku usaha skala kecil yang terdampak pandemi Covid-19 dapat bangkit kembali

“Saya berharap bantuan ini betul-betul dipergunakan untuk mengangkat lagi usaha yang dimiliki,” kata Presiden dalam Penyerahan Banpres Produktif untuk Pelaku Usaha Mikro, di Gedung Agung Yogyakarta, Jumat (28/8/2020).

Rencananya, bantuan tersebut akan didistribusikan melalui transfer bank dan diperkirakan selesai pada September 2020 mendatang.

Menurutnya, dalam kondisi sekarang, para pelaku usaha harus tetap semangat. Tak hanya pelaku usaha kecil saja yang merasakan dampak pandemi, melainkan usaha menengah dan pengusaha besar juga mengalami hal yang sama.

Salah seorang penerima banpres, Tumbaryani mengaku, selama pandemi, omzet usahanya sangat anjlok. Perempuan asal Gamping, Sleman yang sehari-harinya berjualan bakpia ini mengungkapkan, jika pada saat kondisi normal, omzetnya bisa mencapai kisaran Rp 400 ribu – Rp 500 ribu, maka sejak pandemi paling banyak hanya Rp 50 ribu per hari.

“Kadang saya sampai tak membuka lapak dalam sehari,” ujarnya melalui live streaming Setpres.

Sepinya penjualan tersebut, kata Tumbaryani, karena tidak adanya wisatan yang datang ke Yogyakarta saat pandemi.

Hal serupa juga dialami salah seorang penjual soto di Trirenggo Bantul, Supoyo yang mengaku pernah menutup usahanya untuk sementara karena tak ingin merugi terlalu besar.

“Saya memilih istirahat. Baru 1 – 2 minggu buka, saya dipanggil pihak bank. saya bingung, tidak punya hutang kok dipanggil bank, ada apa ini?. ternyata di sana saya diberi tahu bahwa saya dapat bantuan dari Presiden,” ucapnya girang.

Keduanya menyatakan akan mempergunakan bantuan tersebut untuk menambah modal usaha mereka sehingga bisa tetap bertahan di tengah masa-masa sulit diterjang pandemi Covid-19. (Rep-02

Jokowi Targetkan Vaksin Penangkal Covid-19 Siap Awal Tahun 2021

Ilustrasi: salah seorang warga di Yogyakarta sedang menjalani rapid tes

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) menargetkan, pada awal 2021 mendatang, masyarakat sudah bisa mendapatkan suntik vaksi penangkal Covid-19.

Hal tersebut seperti disampaikan Presiden, saat penyerahan Banpres untuk para pelaku usaha kecil, di Kompleks Gedung Agung Yogyakarta, Jumat (28/8/2020).

“Insya Allah di bulan Januari (2021), kita sudah mulai suntik vaksin biar keadaannya masuk pada kondisi normal kembali,” ucap Presiden, melalui live streaming Setpres.

Menurutnya, pemerintah melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sedang memastikan untuk bisa mendapatkan bahan baku ataupun vaksin yang sudah jadi dari Uni Emirat Arab dan China.

“Ini jadi rebutan, 215 Negara rebutan vaksin semua,” ungkapnya.

Sementara sebelumnya, Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Jenderal TNI Andika Perkasa saat di Yogyakarta juga menyampaikan bahwa pihaknya sedang menunggu review dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI atas uji klinis obat Covid-19.

“Jadi BPOM akan me-review. Kalau ada kekurangan dalam hal uji klinis, maka kami juga siap untuk memperbaikinya,” tegas Kepala Staf TNI Angkatan Darat ini di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, 26 Agustus 2020.

Sebelumnya, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengklaim telah berhasil menemukan kombinasi obat untuk menyembuhkan pasien Covid-19. Temuan tersebut dikembangkan bersama Badan Intelijen Negara (BIN), dan TNI Angkatan Darat.

Namun, obat Covid itu juga sempat menundang polemik karena validitasnya dipertanyakan sehingga BPOM RI meminta Unair melakukan uji klinis. (Rep-01)

Pemda DIY Terima Penghargaan Praktik Baik Reformasi BIrokrasi 2020

Gubernur DIY (kanan) menerima piagam penghargaan dari Ketua KPK (Kiri) di Gedung Merah Putih Jakarta, Rabu (26/8/2020). (dok. Humas Pemda DIY)

JAKARTA (kabarkota.com) – Pemerintah Daerah (Pemda) menerima pengharagaan atas Praktik Baik Reformasi Birokrasi Aksi Nasional Pencegahan Korupsi (ANSK) 2020. Penghargaan tersebut diterima langsung oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahruri, di Jakarta, Rabu (26/8/2020)

Penghargaan tersebut diberikan karena adanya inisiatif dan praktik yang baik di lingkungan Pemda DIY, dalam upaya-upaya pencegahan korupsi.

Ketua KPK, Firli Bahruri menilai, performa reformasi birokrasi yang baik itu terbukti dari beberapa capaian Pemda DIY. Diantaranya,predikat SAKIP AA selama dua kali berturut-turut, predikat WTP oleh BPK selama 10 kali berturut-turut, Outstanding Achievement of Public Service Innovation 2020, BKN Awards Tahun 2017 dan Tahun 2019, KASN Award Tahun 2018, Penilaian Penerapan Merit System dengan hasil baik pada tahun 2018 (tertinggi untuk Pemda), dan Capaian Reformasi Birokrasi Th 2019 dengan nilai A.

“Penghargaan ini juga merupakan apresiasi atas keikutsertaan Pemda DIY pada program Aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) tahun 2019-2020 yang kami selenggarakan,” kata Firli dalam siaran Pers Pemda DIY, Rabu (26/8/2020).

Menurutnya, porgram tersebut diikuti oleh 596 peserta, yang terdiri atas 54 Kementerian Lembaga, 34 Gubernur, 508 Bupati dan Walikota se-Indonesia.

Sementara Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku, pihaknya telah menerapkan beberapa strategi terkait reformasi birokrasi yang dijalankan oleh Pemda DIY. Misalnya, pembagian job desc mulai dari kepala daerah hingga eselon empat dalam penyusunan kinerja, dengna menggunakan empat kriteria sesuai Balance Score Card yakni kinerja fisik, kinerja keuangan, perencanaan, dan pencapaian kinerja instansi. Dengan begitu, percepatan merit system bisa dilakukan.

Selain itu, keberadaan assessment center juga menjadi salah satu faktor yang melancarkan reformasi birokrasi pada bidang pengembangan SDM.

“Mulai dari pengangkatan hingga regenerasi melewati sini semua, karena kami membutuhkan talenta yang memadai,” ucapnya.

Sultan juga mengklaim bahwa Pemda DIY telah melakukan screening calon eselon empat terhadap 1500 ASN milenial. Hasilnya, sekitar 300 orang diproyeksikan bisa berkembang leadershipnya, baik sebagai orang lapangan ataupun konseptor.

Gubernur DIY menambahkan bahwa reformasi birokrasi dapat berjalan, jika ada kemauan untuk berubah. Oleh karenanya, Sultan berharap, dalam waktu dekat, reformasi birokrasi di daerah bisa memberi warna dominan dalam menyelenggarakan pembangunan, serta terbentuk civil society yang baik dengna melibatkan masyarakat sebagai subjek dalam berproses untuk maju dan sejahtera.

“Bagi ASN, pengabdian, memihak pada rakyat itu menjadi seuatu yang sangat penting,” tegasnya.

Pemihakan tersebut, lanjut Sultan, harus disertai dengan informasi yang terbuka dan akuntabel.

“Biarpun pemerintah daerah mengalami proses regenerasi, tapi tetap setiap generasi itu harus bersedia mengabdikan diri untuk kepentigan masyarakat, dan mau belajar,” pintanya. (Ed-01)

Level Kota Layak Anak di Yogya Terganjal Iklan Rokok?

Billboard iklan rokok di jalan Kyai Mojo Yogyakarta (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Billboard berukuran sekitar 4×6 meter menguasai Jalan Kyai Mojo Yogyakarta. Papan iklan berkonten sketsa dua pria sedang berolah-raga itu didominasi warna merah putih. Di situ juga tertulis “We are Stronger” dibubuhi merk produk rokok yang terpampang jelas di sudut kanan atas dari baliho berukuran besar tersebut.

Di ujung barat Jalan K.H. Ahmad Dahlan Yogyakarta juga terpampang billboard iklan rokok dengan konten yang sama. Tak jauh dari titik papan iklan rokok itu, sekitar 70 meter ada gedung sekolah MAN II Yogyakarta. Di Jalan Dr. Sutomo Yogyakarta atau tepatnya di ujung utara jembatan layang Lempuyangan, dua Billboard berisi iklan rokok pun dipasang sekitar 75 meter saja dari fasade gedung SMA Bobkri 1 Yogyakarta, dan Kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).

Billboard iklan rokok di jalan Sutomo Yogyakarta yang berdekatan dengan lembaga pendidikan di kota Yogyakarta (dok. kabarkota.com).

Di sisi lain, Pemkot Yogyakarta juga mempunyai kewajiban untuk mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Lebih dari itu, tanggungan besar bagi Pemkot Yogyakarta adalah mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) yang sesungguhnya, dan itu tak bisa dilepaskan dari penerapan Perda KTR.

Merujuk pada Perda No 2 Tahun 2017 itu, area di sekitar lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, dan tempat ibadah di Kota Yogyakarta telah ditetapkan sebagai KTR. Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan KTR sebagai ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk tembakau.

Lalu, apakah keberadaan iklan produk rokok yang terpampang di ruang-ruang publik itu menjadi pengganjal kenaikan level KLA di Kota Yogyakarta yang saat ini masih KLA Nindya?

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan Perempuan, dan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta, Edy Muhammad mengaku, keberadaan iklan rokok itu sempat menjadi perhatian dan persepsi yang kurang baik di mata tim penilai.

“Parameternya banyak, sehingga kalau itu (iklan rokok) menjadi salah satu memang mungkin,” kata Edy kepada kabarkota,com, 23 Juli 2020.

Pihaknya mengungkapkan, Pemkot Yogyakarta memiliki Perda tentang Reklame yang mengatur jarak reklame dengan lembaga pendidikan, pusat kesehatan, dan tempat ibadah, serta konten iklannya.

Pasal 9 ayat (1) Perda No 2 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reklame menyebutkan bahwa penempatan reklame di area sekolah, di luar area sekolah dan di area tempat ibadah dengan jarak 75 meter dari bangunan terluar dilarang adanya reklame produk rokok, alat kontrasepsi dan/atau minuman beralkohol. Kemudian di ayat (3) juga ditegaskan bahwa reklame produk rokok dilarang di KTR (huruf a), dan diletakkan di jalan utama atau protokol (huruf b). Dan Jalan K.H. Ahmad Dahlan Yogyakarta termasuk salah satu yang disebut dalam Perda itu sebagai jalan utama atau jalan protokol (ayat (4) huruf i) yang dilarang untuk pemasangan iklan rokok

Aturan itu juga dikuatkan dengan Perda tentang KTR yang juga berkorelasi dengan Perda KLA. Perda Kota Yogyakarta No 1 Tahun 2016 tentang KLA, menjabarkan tentang parameter KLA yang memasukkan keberadaaan KTR (pasal 15 huruf i) sebagai bagian dari penilaian di Klaster Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan. Hal itu ditegaskan pula di Pasal 20 yang mengamanatkan adanya kebijakan, pengaturan dan penetapan Kawasan Tanpa Asap Rokok (ayat 4 huruf i) sebagai bagian dari upaya untuk perwujudan KLA di Kota Yogyakarta.

Hanya saja yang terjadi di lapangan, ungkap Edy, faktor jarak, tak berbanding lurus dengan jarak pandang karena keterbukaan di wilayah atau lokasi itu. “Artinya, dari sisi jarak sudah memenuhi atau melampaui tapi dari sisi pandangan mata masih terlihat,” sesal Edy.

Kepala Seksi Promosi dan Pemberdayaan Masyarakat Dinkes Kota Yogyakarta, Arumi Wulansari menganggap bahwa memang salah satu kekurangan Perda KTR ini adalah tidak adanya aturan yang jelas tentang reklame.

Dalam Perda KTR tak diatur spesifik tentang iklan rokok, dalih Arumi, karena sebelumnya telah ada Perda tentang Penyelenggaraan Reklame yang mengatur lebih detail tentang promosi produk di ruang publik. Sedangkan dari bunyi Perda tentang Penyelenggaraan Reklame, pada intinya jarak minimal yang masih ditoleransi untuk pemasangan iklan produk rokok hanya 75 meter dari bangunan terluar gedung. Radius kurang dari 100 meter di kota Yogyakarta yang luas wilayahnya relatif sempit dengan kepadatan penduduk yang tinggi, menjadikannya terlihat sangat berdekatan.

Luas wilayah Kota Yogyakarta sekitar 3.250 Hektare atau hanya kurang lebih 1 persen dari luas wilayah DIY. Sedangkan jumlah anak berdasarkan data Sistem Informasi Administrasi Kependudukan – Jogja Smart Service (SIAK – JSS) Kota Yogyakarta Tahun 2019 mencapai 27 persen dari total penduduk yang tercatat 416.049 jiwa.

Hasil Riskesdas tahun 2018 sebagaimana yang dipaparkan dalam lampiran Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta No 90 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Daerah Upaya P2PTM, prevalensi merokok penduduk usia lebih kecil atau sama dengan 18 tahun meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen. Khusus Yogyakarta, anak usia 10 -18 tahun yang merokok setiap hari angkanya jauh melebihi nasional, yakni 17.82 persen.

Pertanyaannya kemudian, mengapa keberadaan Perda sebagai penguat penerapan KTR justru terkesan lemah dalam perlindungan terhadap hak Kesehatan masyarakat? Pun demikian, penegakan Perda tersebut tak semulus yang diharapkan?

Tarik Ulur Raperda KTR

Menyoal Perda KTR Kota Yogyakarta, Arumi mengatakan, pengesahan Perda No 2 Tahun 2017 ini membutuhkan waktu yang sangat panjang. Sejak Rancangan Perda (Raperda) yang ketika itu bernama Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTAR) masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) atas inisiatif DPRD pada tahun 2012, sekitar lima tahun kemudian baru disahkan.

Terbitnya Perda KTR ini tak lepas dari dorongan dari para aktivis antirokok, termasuk salah satunya Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT). Fauzi AN sebagai pendiri JSTT mengaku, sebetulnya advokasi agar Pemkot Yogyakarta membuat regulasi itu sudah ia lakukan sejak tahun 2010.

“Kami ingin menyelamatkan generasi muda tanpa rokok, karena orang sudah merokok sembarangan,” tegas Fauzi.

Tapi niat baik tersebut tak kunjung direspon oleh DPRD Kota Yogyakarta. Draf dan naskah akademik yang diusulkan ke dewan melalui Dinkes selalu mental. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang ketika itu paling getol menolak penerapan KTR di Kota Yogyakarta.

Kejanggalan muncul sekitar tahun 2016, ketika pihaknya diundang Biro Hukum Dinkes untuk berdiskusi. Ternyata DPRD menginisiasi Raperda tentang KTAR dan telah masuk dalam pembahasan. Terlebih, Fraksi PDIP yang sebelumnya tegas menolak penerapan KTR, tiba-tiba menjadi fraksi di dewan yang paling getol memperjuangkan agar Raperda KTAR disahkan. Hal tersebut memunculkan tanda tanya besar.

Namun dari draf dan naskah akademiknya, Fauzi mensinyalir ada pasal-pasal titipan dari pelaku industri yang diwakilkan melalui komunitas pro tembakau (Komtek). “Waktu itu kami menolak. Alot itu. Sampai saya sebagai civil society dari LSM, kami sudah memberikan warning kepada Pemkot, agar menolak itu karena tak sesuai dengan UU Kesehatan,” imbuh Fauzi.

Anggota DPRD Kota Yogyakarta dari Fraksi PDIP, Antonius Fokki Ardiyanto mengaku, awalnya PDIP memang menolak. Pihaknya berdalih belum ada penelitian sahih yang bisa membuktikan merokok itu membahayakan kesehatan. Tetapi, jelas bahwa rokok sudah menjadi bagian dari budaya yang membawa dampak ekonomi dan sosial. Cukai rokok memberikan kontribusi besar untuk perekonomian kota Yogyakarta.

“Bea bagi hasil cukai rokok yang diberikan kementerian Keuangan ke APBD, itu 100 persen digunakan untuk kesehatan,” dalihnya.

Hanya saja saat dikonfirmasi, pernyataan Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinkes Kota Yogyakarta, Tri Mardoyo kontras dengan penyampaian Fokki. Tri mengungkapkan bahwa cukai rokok yang masuk Pemkot sebagian juga dibagi untuk pembiayaan di luar bidang kesehatan. “Memang porsi terbanyak di Dinkes,” tegas Tri.

Fokki membeberkan alasan perubahan sikap fraksinya tentang rencana penerapan KTR di Kota Yogyakarta. “DPRD ini lembaga politik, maka nuansanya juga politik,” tegasnya.

DPRD sebagai lembaga politik, sambung Fokki, maka kebijakan yang diambil juga sarat dengan kepentingan politis. Kesepatan yang akhirnya terjadi itu sebagai hasil dari kompromi-kompromi antarfraksi.

Waktu itu, kata dia, fenomena KTR menjadi isu utama dan input seluruh Indonesia, termasuk Kota Yogyakarta, sehingga waktu itu terjadi proses- proses dialog. Satu pihak berkaca dadi sisi kesehatan versi kemenkes. Satu pihak lainnya berkaca dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya sebagai versi kesehatan tandingan.

“Sebelum menjadi kesepakatan semua fraksi di DPRD, Raperda KTAR didorong masuk kembali oleh Partai Demokrat yang ketika itu mengusai 10 kursi dan didukung beberapa fraksi di legislatif. Sedangkan PDIP dengan 11 kursi, posisinya menolak sendiri,” paparnya.

Disinggung soal pasal-pasal karet yang memberikan peluang bagi industri rokok untuk bisa mendapatkan ruang di kota Yogyakarta, seperti dalam bentuk, pemasangan reklame iklan produk rokok maupun sponsorship event olah raga dan hiburan di Gedung Olah Raga (GOR) tertutup, Fokki berkilah bahwa yang sama sekali tidak boleh ada promosi maupun penjualan produk rokok itu di Fasilitas Kesehatan, Fasilitas Pendidikan, dan Fasilitas keagamaan.

“Kalau ada pelanggaran di lapangan berarti yang memble Pemkotnya,” anggap Fokki.

Pihaknya berpendapat bahwa keberhasilan penerapan Perda itu sangat tergantung pada ketegasan Pemkot. “Yang jelas, Perda sudah mengatur jarak pemasangan iklan secara rigit,” tuturnya.

Sementara Plt. Dinkes Kota Yogyakarta menimpali dengan mengungkapkan bahwa yang mengusulkan pasal-pasal pengecualian dalam Perda KTR justru dari legislatif.

“Tentunya kesehatan penting, tapi mungkin dewan juga memberikan peluang bisnis, istilahnya,” sambung Tri.

Dalam Perda KTR memuat pasal pengecualian larangan iklan rokok yang dijabarkan di pasal 22. Jika di pasal 14 telah ditegaskan bahwa fasilitas olah raga dalam ruangan atau gedung tertutup termasuk KTR (huruf i), maka pasal 22 ayat 3 menyatakan bahwa larangan mempromosikan rokok dikecualikan terhadap kegiatan promosi rokok di fasilitas olah raga dalam ruang/gedung tertutup.

Salah seorang penerima jasa pemesanan reklame, Putra Wibawa mengatakan bahwa dari sisi tarif, sebenarnya pemasangan reklame, terutama produk rokok itu relatif lebih besar dibandingkan dengan produk non tembakau lainnya. Termasuk juga untuk nilai pajak yang harus disetorkan ke Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.

“Untuk rokok, dimanapun tetap beda, karena lebih mahal dan lebih ketat,” jelas Putra.

Pihaknya menyebutkan, untuk reklame iklan di luar produk rokok ukuran 6×4 meter saja tarifnya kisaran Rp 5 juta – Rp 8 juta per bulan, tergantung lokasinya. Maka, tarif untuk iklan rokok di atas harga rata-rata tersebut. Begitu juga dengan pajak yang dikenakan. Nilai pajak yang harus disetorkan dihitung per tahun, dan besarannya tergantung ketetapan dari Pemda setempat. Termasuk menyesuaikan, jika ada Perda yang berkaitan dengan aturan pemasangan iklan produk rokok, semisal di Kota Yogyakarta.

“Iya memang harus sesuai. Kadang katanya di tempat yang akan kami pasang reklame itu tidak diizinkan karena Perda ini itu, tetapi kenyataannya ada juga yang membangun di situ,” sesalnya.

Terkait dengan reklame di tempat umum, termasuk iklan produk rokok, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta telah menerbitkan Perwal No 2 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Perwal No 51 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kota Yogyakarta No 1 tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Pasal 2 ayat (1) dari Perwal yang diundangkan pada 2 Januari 2012 itu disebutkan bahwa “Perhitungan Nilai Sewa Reklame (NSR) ditentukan oleh jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran media reklame”.

Sementara Fauzi dari JSTT menilai, sejak awal, draf usulan dari dewan justru melemahkan kebijakan itu sendiri. Mulai dari pemilihan judulnya yang menggunakan Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTAR) sudah memicu perdebatan panjang.

Mereka, sebut Fauzi, ingin menghilangkan pembatasan itu. Misalnya, tempat umum dan tempat kerja diperbolehkan untuk merokok di dalam ruangan. Mereka juga menginginkan private office tidak masuk KTAR. Tak sampai di situ, mereka juga menginginkan larangan iklan rokok di KTR dilonggarkan, seperti di stadion olah raga yang seharusnya termasuk KTR menjadi tempat yang dikecualikan sehingga bisa menjadi tempat bebas merokok, mengiklankan dan menjual rokok, dengan sasaran GOR Amongrogo, dan stadion di kota Yogyakarta.

What’s behind this? Ternyata setelah kami pelajari, ini ada kepentingan dari industri yang ingin membuat event-event di situ. Ternyata terbukti kan?,” sesalnya.

Lain halnya dengan Fraksi PDIP, Anggota DPRD dari Fraksi PAN, M. Ali Fahmi mengaku, sejak awal fraksinya mendukung rencana penertapan KTR di Kota Yogyakarta. Pihaknya menginginkan agar Perda KTR menjadi payung hukum yang benar-benar memberikan perlindungan kesehatan masyarakat secara luas. Mengingat, banyak orang sakit yang salah satunya disebabkan oleh asap rokok.

Menurutnya, Proses panjang terbitnya Perda No 2 Tahun 2017 itu belum menghasilkan Perda yang cukup ideal.

“Idealnya kalau Perda itu selesai 2-3 bulan. Tapi ini sampai 5 tahunan. Ketika mengusulkan 2013 itu dewan periode lama (2009-2014), kemudian yang membentuk pansus (akhir 2014) dan membahas itu dewan baru (2014-2019) yang baru dilantik. Tahun 2016 selesai pembahasan, tapi masih ada proses no registrasi di Gubernur sehingga awal 2017 baru keluar Perda No 2 Tahun 2017 itu,” tuturnya.

Pihaknya ingin pengawasan implementasi lebih diperketat. KTR bisa diperluas dengan memperluas kawasan. Pemkot punya kewajiban menyediakan tempat khusus untuk merokok sehingga berimbang dan nyaman untuk wisatawan.

Terlebih, banyak orang sakit yang salah satunya disebabkan oleh asap rokok. “Paling kasihan itu perokok pasif. Dia tidak merokok, tapi terdampak. Itu bahaya. Ketika misalnya 450 ribu jiwa warga Kota Yogyakarta menjadi sakit, maka nilai cukai rokok itu menjadi kecil,” sebutnya.

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 tercatat, prevalensi penyakit diabetes melitus (DM) di Kota Yogyakarta sebesar 4.9 persen. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yang masih 2 persen. Dari jumlah kasus per jenis PTM di Kota Yogyakarta dalam kurun waktu 2014 – 2018. Penyakit hipertensi ternyata menempati urutan pertama di antara empat jenis PTM lainnya, yakni penyakit ginjal, kanker payudara dan kanker leher rahim. Bahkan apda tahun 2017, total terdapat 96 kasus kematian akibat Diabetes Militus di Kota Yogyakarta.

Rokok menjadi salah satu pemicu munculnya PTM. Menurut United States Surgeon General’s Report (2004) yang dikutip dari paparan materi dari Koordinator Tobacco Quit Indonesia, Yayi Suryo Prabandari, dengan judul “Perokok di Yogyakarta dalam Angka”, rokok dapat menyebabkan penyakit pada hampir semua organ tubuh manusia.

Pelanggaran Perda Terabaikan

Lemahnya pengawasan dalam penerapan Perda No 2 Tahun 2017 juga pernah disoroti Forum Pemantau Independen (Forpi) Pakta Integritas Kota Yogyakarta. Baharuddin Kamba yang ketika itu menjadi Koordinator Forpi melaporkan, dari hari pemantauannya di sejumlah ruang khusus merokok di kompleks Balaikota Yogyakarta, pada 14 Oktober 2019, masih banyak ditemukan pelanggaran.

Dari hasil temuannya, masih ada orang yang merokok di luar tempat yang telah disediakan di dalam kompleks Balaikota. Hal itu terlihat juga dari puntung-puntung rokok yang berserakan di mana-mana. Penunjuk arah ke ruang merokok juga tak terlihat sehingga Bahar menduga, itu menjadi salah satu faktor orang masih banyak merokok di luar ruang khusus merokok. Dari sisi infrastruktur, Forpi melihat ada pintu ruangan khusus merokok yang engselnya mulai rusak.

Temuan Forpi itu ternyata sejalan dengan hasil survei yang dilakukan Tim Monitoring dan Evaluasi tentang kepatuhan terhadap Perda KTR, dengan sasaran tempat-tempat umum dan perkantoran, pada tahun yang sama.

“Beberapa memang masih kami pelanggaran. Misalnya merokok di kantor, ditemukan bau rokok di kantor yang seharusnya termasuk KTR,” sesal Arumi. Bahkan, di gedung DPRD yang notabene para anggota dewannya menjadi pengusung inisiatif Perda KTR ketika itu, tak mengizinkan tim monitoring melakukan pengecekan di dalam gedung wakil rakyat.

“DPRD itu dia tidak mau di-monev, yang boleh dimonev hanya di sekwan,” ujarnya.

Anggota DPRD, M. Ali Fahmi juga mengakui, sampai sekarang, kantor DPRD Kota Yogyakarta belum memiliki bilik khusus untuk merokok. Pihaknya tak menjelaskan alasan belum tersedianya tempat khusus merokok yang diamanatkan dalam Perda yang telah mereka sepakati bersama.

Nasib Penegakan Perda di kala Pandemi

Dari temuan-temuan yang mengindikasikan masih lemahnya penegakan Perda KTR itu, sebenarnya Forpi telah merekomendasikan agar Pemkot gencar melakukan sosialisasi untuk menggugah kesadaran masyarakat supaya mengubah perilaku dalam merokok, memperbaiki fasilitas pendukung yang rusak, serta melakukan penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran.

Menurut Bahar, subtansi dari Perda No 2 Tahun 2017 tersebut adalah larangan merokok di area KTR, seperti di Rumah Sakit, Puskesmas, Poliklinik, sekolah, tempat bermain, tempat ibadah, angkutan umum, dan tempat kerja. Sedangkan sanksi bagi pelanggar, mulai dari teguran hingga ancaman pidana kurungan maksimal satu bulan dan denda paling Rp 7,5 juta.

Sementara dari pantauan kabarkota.com di kompleks Balaikota Yogyakarta pada 26 Juni 2020, temuan-temuan Forpi tentang infrastruktur pendukung yang mulai rusak, dan puntung rokok yang berserakan masih terlihat, bahkan di dalam bilik khusus merokok yang disediakan.


Bilik merokok di kompleks Balaikota Yogyakarta yang tampak penuh dengan puntung rokok, pada 26 Juni 2020. (dok. kabarkota.com)

Menanggapi hal itu, Kepala Dinkes beralasan, selama masa pandemi, energi Pemkot tercurah untuk menangani Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Kota Yogyakarta sehingga urusan penegakan Perda KTR sementara waktu luput dari perhatian. Termasuk rencana penerapan KTR di Kawasan Malioboro yang semestinya launching pada bulan Maret lalu.

Dinkes yang tengah menjalin kerjasama hibah dengan The Union untuk melakukan survei kepatuhan Perda KTR juga menunda program kerjasama tersebut hingga akhir tahun 2020 mendatang. (Ed-01)

BPBD DIY dan BNPB Lakukan Simulasi Penanganan Bencana Merapi di Tengah Pandemi Covid-19

Kepala Pusdiklat PB BNPB (kiri), dan Kepala BPBD DIY (kanan) saat menggelar jumpa pers di Yogyakarta, Selasa (25/8/20200. (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan Simulasi Penanganan Bencana Merapi di Tengah Pandemi Covid-19.

Kepala Pusdiklat PB BNPB, Berton Panjaitan menjelaskan, kegiatan in merupakan rangkaian dari sejumlah kegiatan yang telah dilaksanakan sebelumnya.

“Harapan kami, ke depan para peserta bisa digunakan oleh Pemda untuk melatih dengan tema atau sasaran kelompok yang berbeda,” kata Berton di Yogyakarta, Selasa (25/8/2020).

Semestinya, lanjut Berton, dalam setiap simulasi ada gladi ruang, posko, dan lapang. Namun di tengah pandemi Covid-19, gladi lapang yang melibatkan masyarakat ditiadakan.

Sementara Kepala BPBD DIY, Biwara Yuswantana menambahkan, pihaknya telah menyusun rencana kontijensi yang merupakan gambaran pelaksanaan dan pegangan bersama dalam penanganan erupsi Merapi di DIY. Sementara skenarionya berdasarkan rekomendasi dari BPPTKG, di mana daerah bahaya 4 dan 5 meliputi tujuh desa di Kecamatan Turi, Pakem, dan Cangkringan.

“Dalam rencana kontijensi ini, BPBD Sleman sebagai komando di depan, dan BPBD DIY supporting atau pendukung dalam penanganan Merapi,” paparnya.

Selain itu, lanjut Biwara, pihaknya juga mempertimbangkan penanganan bencana Merapi di tengah pandemi Covid-19, dengan tetap memperhatikan aspek protokol kesehatan. Mulai dari sarana evakuasi, transportasi, sister village, hingga barak pengungsian. Termasuk fasilitas sanitasi, air bersih, dan MCK, serta dukungan logistik

“Semua aspek itu coba kami simulasikan sehingga kami mempunyai kesiapsiagaan,” katanya. (Rep-01)

Tolak Omnibus Law di Yogya: Satu Perjuangan, Beda Jalan

Aksi Unjuk Rasa ARB Yogyakarta, di Jalan Gejayan Yogyakarta, Jumat (14/8/20200. (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Rencana pemerintah pusat untuk mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menuai penolakan dari banyak pihak, termasuk di DIY.

Namun, setiap kelompok rupanya memiliki cara masing-masig untuk menyuarakan penolakan mereka atas rencana pemerintah yang dinilai tak pro rakyat tersebut. Hal tersebut sebagaimana perbedaan aksi yang dilakukan Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) DIY, dan Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) Yogyakarta, pada Jumat (14/8/2020)

Forum BEM DIY Datangi Pemda, Kecewa tak Ditemui Para Pengambil Kebijakan

Dari pantauan kabarkota.com, puluhan mahasiswa dari perwakilan BEM sejumlah Perguruan Tinggi (PT) di DIY mendatangi Kompleks Kepatihan Yogyakarta. Mereka berharap bisa bertemu dan berdialog dengan para pengambil kebijakan terkait untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait pernyataan sikap atas rencana pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Namun, Presiden Mahasiswa (Presma) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ahmad Rifai Muhtamin mengungkapkan kekecewaannya di forum karena audiensi yang mereka harapkan tak sesuai harapan.

Audiensi Forum BEM DIY di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Jumat (14/8/2020). (dok. kabarkota.com)

Ahmad Rifai Muhtamin, Presma UIN Suka Yogyakarta

“Hari ini sebenarnya kami mengharapkan dialog, audiensi dan ada keputusan. Tapi ternyata yang dihadirkan adalah orang-orang yang tidak bisa mengambil keputusan. Hari ini hanya akan berakhir dengan bapak mendengarkan,” sesal Ahmad.

Padahal menurutnya, jika sekedar mendengarkan, maka semestinya Pemda sudah membaca dari berbagai media, dan aksi-aksi penolakan atas Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang telah digelar berulang kali sebelumnya.

Pihaknya berharap, Pemda DIY bisa menindaklanjuti kesepakatan yang telah dibuat Forum BEM Nusantara dengan Wakil Ketua DPRD DIY, pada 15 Juli 2020 lalu yang pada intinya mereka sepakat dengan penolakan tersebut.

“Mohon maaf cara kami menyampaikan seperti ini, karena berulang kali kami menyampaikan, tapi hasilnya hanya seperti ini. Kalau pun ada hasil ternyata itu bahasanya diplomatis, sementara kami diajarkan berpolitik praktis,” tegasnya.

Pada kesempatan tersebut, Forum BEM DIY ditemui oleh Kepala Kesbangpol DIY, Kepala Disnakertrans DIY, dan Kepala LL Dikti Wilayah V DIY.

Menanggapi kekecewaan mahasiswa tersebut, Kepala Kesbangpol DIY, Agung Supriyanto berdalih bahwa siapapun yang menemui audiensi mahasiswa di Pemda, pada dasarnya tidak bisa berbuat dalam pengambilan keputusan terkait tuntutan mereka. Pasalnya, kewenangan Pemda hanya sebatas menyampaikan aspirasi melalui instansi-instansi terkait untuk diteruskan ke pemerintah pusat.

“Harapan kami ada yang disampaikan secara tertulis. Selain itu mereka juga konsekuen bahwa apa yang disampaikan sesuai yang tertulis saja. Misalnya, penyampaian pernyataan sikap hari ini dan dicantumkan permohonan agar disampaikan ke pemerintah pusat supaya menjadi pertimbangan,” ucap Agung kepada wartawan usai audiensi.

Di akhir audiensi kali ini, Pancar Setia Budi Ilham Mukaromah selaku Wakil Ketua BEM DIY membacakan tujuh poin tuntutan. Diantaranya, menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja; menolak sentralisasi kekuasaan melalui konsep Omnibus Law; menolak penyederhanaan regulasi perizinan Amdal; menolak sentralisasi sistem pengupahan perburuham; menolak sektor pendidikan masuk dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja; serta menuntut pemerintah memperbaiki kelembagaan di tingkat Nasional maupun daerah sebagaimana amanat UUD 1945.

“Semoga apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi kami dapat didengarkan dan diimplementasikan oleh intansi-instansi terkait,” harapnya.

ARB Yogyakarta Gelar Aksi ala Parlemen Jalanan, Diwarnai Kericuhan

Sementara itu, ARB Yogyakarta lebih memilik menggelar unjuk rasa di Jalan Gejayan dan berlanjut di pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Humas ARB Yogyakarta, Lusi mengaku, aksi turun ke jalan sengaja dipilih sebagai alternatif penyampaian asporasi, ketika jalur pendekatan melalui birokrasi, hasilnya tak dihiraukan.

“Kami hanya diterima dan didengarkan aspirasinya, tapi apa tindaklanjutnya? Hanya nol, kosong!” ucapnya.

Aksi ARB Yogyakarta tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, di Jalan Gejayan, Jumat (14/8/2020). (dok. kabarkota.com)

Menurut Lusi, dengan berkaca dari pengalaman tersebut, maka aksi ARB ini menjadi alternatif berpolitik yang selama ini tak disediakan oleh Negara, karena ruang-ruang politik di Negara ini dibatasi dengan kotak-kotak Pemilu. Sedangkan melalui politik di jalanan, semua masyarakat yang ingin terlibat, maka mereka juga dapat terlibat.

Dalam aksi kali ini, ada tujuh poin yang disuarakan ARB, diantaranya gagalkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja; berikan jaminan kesehatan, ketersediaan pangaj, pekerjaan dan upah layak saat pandemi; dan gratiskan UKT/SPP dua semester selama pandemi.

Selain itu, ARB juga menyerukan solidaritas untuk menolak tambang pasir besi di Kulon Progo; menolak rencana pembangunan Bendungan Bener; serta hentikan semua proyek infrastruktur yang menggusur penghidupan warga.

Setelah menggelar aksi di Jalan Gejayan, para demonstran bergerak menuju pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan sempat terjadi kericuhan dengan sekelompok warga yang hendak membubarkan aksi mereka, pada Jumat malam.

Kapolres Sleman, Anton Firmanto membenarkan adanya kericuhan tersebut. Namun pihaknya mengklaim dapat mengatasi permasalaan tersebut. (Rep-01)

Sultan Yogya belum Izinkan Sekolah Tatap Muka, Ini Alasannya

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA – Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X belum mengizinkan sekolah-sekolah untuk melakukan pembelajaran tatap muka, di tengah pandemi.

“jangan dulu lah, masih fluktuatif. saya belum tahu persis kita ini hijau, kuning, atau memang orange,” kata Sultan di kompleks Kepatihan Yogyakarta, Selasa (11/8).

Sultan menganggap, anak-anak masih sangat rentan tertular virus corona sehingga pihaknya khawatir malah akan memunculkan masalah baru, jika anak-anak mulai belajar mengajar di kelas. Namun demikian, Sultan akan memberikan izin bagi perguruan tinggi untuk memulai perkuliahan tatap muka terlebih dahulu, sebelum para siswa diperbolehkan belajar di kelas.

Menurutnya, lebih baik pihaknya berfokus pada swab massal yang sekarang sudah berjalan, dengan harapan akan ada kepastian, daripada menerapkan kebijakan yang coba-coba.

Sementara Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Lisyarti dalam pernyataan tertulisnya menyampaikan, pihaknya tengah melakukan persiapan untuk pengawasan ke sejumlay sekolah di berbagai daerah. Hal tersebut dilakukan menyusul adanya pembukaan sekolah di zona hijau sebagaimana di atur dalam SKB 4 Menteri tentang Panduan Pembelajaran di Masa Pandemic Covid-19, yang ditetapkan pada 15 Juni 2020 lalu.

“Perluasan buka sekolah di zona kuning sangat disayangkan karena kasus covid 19 masih begitu tinggi di Indonesia. Kasus covid 19 juga terjadi di berbagai sekolah dan pondok pesantren yang membuka sekolah,” kata Retno dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com.

Retno menyebutkan, pada 10 Agustus, pihaknya telah melakukan pengawasan langsung ke SMPN 1 dan SMAN 1 Kota Subang (Jawa Barat). Kemudian pada 12 Agustus besok, KPAI juga akan melakukan pengawasan langsung ke dua sekolah di kota Bogor. Pihaknya juga akan melakukan audiensi dengan Wakil Walikota Bogor yang juga ketua Gugus Tugas Covid Kota Bogor. Lalu, pada 13 Agustus; KPAI juga akan pengawasan langsung ke dua sekolah di kota Bekasi dan ada agenda pula audiensi dengan Walikota Bekasi.

Retno memaparkan, berdasarkan hasil pengawasan sementara KPAI tercatat ada tiga sekolah dan lima pondok pesantren (Ponpes) yang terpapar Covid-19. Selain itu ada kasus baru yang juga terjadi di Kalimantan Barat, yaitu delapan guru dan 14 pelajar yang terinfeksi covid 19 dari hasil pemeriksaan rapid tes sebelum membuka sekolah.

Kasus-kasus tersebut, kata Retno, menunjukkan bahwa pembukaan sekolah tanpa persiapan yang jelas dan terukur akan sangat membahayakan kesehatan dan nyawa anak-anak, guru, kepala sekolah dan warga sekolah lainnya.

“KPAI mendorong penyiapan tidak hanya urusan infrastruktur seperti wastafel, sabun, disinfektan dan lain-lain, namun juga perlu nyiapkan kenormalan baru saat pembelajaran tatap muka akan dilakukan,” sambungnya

Selain itu, sekolah yang sebelumnya telah dibuka di zona hijau ternyata juga tidak mengisi daftar periksa dalam aplikasi yang disiapkan Kemdikbud. Salah satunya, SMAN di Seluma Bengkulu. (Ed-01)

KSPSI DIY Desak Pemerintah Beri BLT Permanen untuk Buruh Bergaji di Bawah Rp 5 Juta

Ilustrasi: aksi buruh di Yogyakarta (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerjan Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY mendesak pemerintah, baik pusat maupun daerah agar memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tak diskriminatif dan sifatnya permanen bagi buruh yang bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan.

Desakan tersebut sebagaimana disampaikan Juru Bicara DPD KSPSI DIY. Irsad Ade Irawan, sebagai respon atas janji pemerintah melalui Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Permulihan Ekonomi Nasional, Erick Thohir yang akan memberikan BLT senilai total Rp. 2.4 juta untuk empat bulan.

Irsad menilai, pemberian BLT tersebut akan membantu buruh meringankan beban di tengah pandemi Covid-19.

“Namun demikian, persyaratan menjadi Peserta Aktif BPJS Ketengajakerjaan dapat
berpotensi menciptakan diskriminasi, karena hanya pekerja atau buruh yang tercatat sebagai peserta aktif BPJS NAKER yang bisa mendapatkan BLT,” tegas Irsad dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, Minggu (9/8/2020).

Mengingat, kata dia, dari sekitar 902.543 pekerja/buruh di DIY. hanya sejumlah 367.723 buruh/pekerja yang menjadi peserta aktif BPJS Naker sehingga akan ada 534.820 pekerja buruh yang tidak mendapatkan BLT tersebut. Padahal, mereka juga menghadapi kesulitan hidup selama masa pandemi Covid-19.

Selain itu, lanjut Irsad, mereka juga sama-sama Warga Negara Indonesia (WNI) yang membayar pajak serta berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Lebih lanjut KSPSI DIY meminta agar pemerintah, baik pusat maupun daerah juga menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang tak mengikutsertakan buruh/pekerjanya dalam program BPJS.

“Pemda DIY perlu bekerjasama dengan Serikat Pekerja/Buruh membuat “POSKO BLT” untuk mengawal pemberitan BLT agar tepat guna dan tepat sasaran,” harapnya. (Ed-01)

Warga Lereng Merapi Tolak Rencana Penambangan Pasir oleh PT SKM

Kawasan Hulu Sungai Boyong yang akan ditambang dengan alat berat oleh PT SKM (dok. lbh Yogyakarta)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Belasan orang yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Pejuang dan Pelestari Sumber Mata Air Hulu Sungai Boyong di Lereng Merapi, Kamis (6/8/2020) mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Ketua Paguyuban Masyarakat Pejuang dan Pelestari Sumber Mata Air Hulu Sungai Boyong, Wasi mengatakan, kedatangan mereka kali ini untuk mengadukan keresahan warga di Kecamatan Turi, Pakem, dan Cangkringan yang akan terdampak rencana penambangan pasir dan batu dengan alat berat oleh PT Sukses Ketiban Mulya (SKM) di hulu sungai Boyong.

Menurut Wasi, rencana penambangan tersebut akan mengancam hilangnya sumber mata air di hulu sungai Boyong yang selama ini banyak dimanfaatkan oleh banyak warga di tiga kecamatan tersebut.

“Kami sepakat tidak menghendaki adanya penambangan dengan alat berat di hulu Sungai Boyong,” tegas Wasi dalam konferensi pers di kantor LBH Yogyakarta.

Hal senada juga disampaikan Wawan, salah seorang warga di Dusun Ngandong, Desa Girikerto, Kecamatan Turi. Ia mengaku pernah memiliki pengalaman pahit ketika warga di dusunnya menggantungkan sumber mata air dari hulu Sungai Krasak, yang berbatasan dengan Magelang, Jawa Tengah.

Wawan mengungkapkan, warga akhirnya kehilangan sumber mata air setelah ada penambangan pasir dengan alat berat secara besar-besaran di sekitar mata air di hulu sungai Krasak.

“Kami kemudian memohon kepada warga di Dusun Turgo (Pakem) karena di sana masih ada sumber air yang mengalir, maka kami minta untuk sumber air bagi kehidupan kami warga Ngandong,” ungkapnya.

Namun dengan adanya rencana penambangan oleh PT SKM tersebut, Wawan juga mengaku khawatir pengalaman pahit kehilangan sumber mata air akan terulang lagi, jika hulu Sungai Boyong ditambang dengan alat berat.

“Kami memohon dengan sangat agar itu dibatalkan. Kami menolak keras rencana penambangan tersebut, karena kami selaku warga Ngandong pernah merasakan langsung dampak buruk dari adanya penambangan dengan alat berat,” pintanya.

Sementara anggota paguyuban, Winarman menambahkan, berberapa sumber mata air yang ada di hulu Sungai Boyong saat ini dimanfaatkan oleh sekitar 1.400 Kepala Keluarga di tiga kecamatan yang berada di lereng Gunung Merapi.

“Kami khawatir, mata air tersebut akan rusak,” tegasnya.

Menanggapi aduan tersebut, Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli mengatakan, pihaknya akan bergerak cepat untuk merespon aduan tersebut. Salah satunya, dengan menyurati Pemda DIY. Mengingat, saat ini Pemda melalui Dinas Perizinan dan Penanaman Modal (DPPM) DIY telah mengeluarkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) bagi PT SKM.

Terlebih, sambung Yogi, Pemkab Sleman telah menetapkan Kecamatan Pakem dan Turis sebagai daerah penyangga dan tangkapan air di lereng Gunung Merapi. (Rep-01)

Kasus Positif Covid-19 semakin Banyak, Ini Respon Wakil DPRD DIY

Ilustrasi: rapid tes massal di salah satu mall kota Yogyakarta (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di DIY kian bertambah banyak. Dalam dua hari terakhir saja, penambahan mencapai 131 kasus baru.

Juru Bicara Pemda DIY dalam Penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan laboritorium pada 1 Agustus 2020, ada penambahan 67 kasus baru yang 40 kasus diantaranya ditemukan di Kabupaten Sleman.

“Total kasus positif sekarang menjadi 741 kasus,” kata Berty, Sabtu (1/8/2020).

Sedangkan berdasarkan riwayat kasusnya, lanjut Berty,17 kasus hasil skrining karyawan kesehatan, 17 kasus dari tracing karyawan koperasi di Sleman, 12 kasus dari kontak tracing kasus sebelumnya, satu kasus dengan riwayat perjalanan luar daerah, dan 20 kasus lainnya belum diketahui riwayatnya.

Menyikapi banyaknya kasus terkonfirmasi positif yang terjadi di DIY dalam dua hari terakhir, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana mengaku khawatir jika tak segera diantisipasi, maka kapasitas rumah sakit rujukan overload sehingga para pasien Covid-19 dengan gejala sakit tak bisa tertangani lagi.

“Rimah Sakit lapangan perlu segera diaktifkan untuk mengatisipasi banyaknya kasus positif ini,” kata Huda dalam pernyataan tertulisnya.

Mengingat, ungkap Huda, kapasitas RS yang disiapkan sebanyak 320 bed, kini yang kosong tinggal 100-an bed. Sementara saat ini belum semua kabupaten/kota di DIY memiliki shelter guna merawat confirm asymptomatic (kasus terkonfirmasi positif tanpa gejala).

Saat ini belum semua pemerintah kabupaten kota memiliki shelter untuk merawat confirm asymptomatic. Sleman punya Asrama Haji, Bantul ada gedung balai desa dan warga RS lapangan, Kota Jogja malah belum punya.

“Kapasitas RS yang bisa dinaikkan juga perlu disiapkan, seperti RS hardjolukito yang masih memungkinkan ditambah 100-an bed lagi,” anggapnya.

Peningkatan kasus yang signifikan ini, sambung Huda, juga sebagai warning agar masyarakat tetap taat pada protokol kesehatan di tengah pandemi yang belum berakhir. (Ed-02)

Cetak Rekor Terbanyak, Kasus Positif Covid-19 di DIY Hari Ini Bertambah 64 Orang

Logo Pemda DIY (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 pada Jumat (31/7) bertambah 64. Penambahan kasus baru tersebut tergolong yang terbanyak dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.

Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih mengatakan, dengan penambahan 64 kasus baru itu, maka total kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di DIY saat ini menjadi 674 kasus.

Menurut Berty, distribusi kasus berdasarkan domisili, kasus terbanyak ditemukan di Sleman (24), menyusul Bantul (23), Kota Yogyakarta (9), dan Gunungkidul (4). Sedangkan Kulon Progo tidak ditemukan kasus baru.

Sedangkan jika dilihat berdasarkan riwayatnya, lanjut Berty, maka kasus baru terbanyak ditemukan dari hasil skrining.

“Skrining karyawan kesehatan 26 kasus,” ungkap Berty,Jumat (31/7/2020).

Selain skiring karyawan kesehatan, juga ditemukan satu kasus dari skrining pasien pra operasi, dan satu kasus skrining karyawan. Sisanya, sebut Berty,sembilan kasus karena kontak tracing kasus sebelumnya, tiga kasus dengan riwayat perjalanan dari luar daerah, dan 24 kasus belum diketahui riwayatnya.

Berty menambahkan, jumlah sampel yang diperiksa lab pada 31 Juli 2020 ini sebanyak 1.085, dan orang yang diperiksa 760.

Terpisah, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana berpandangan bahwa dengan banyaknya jumlah sampel yang harus diperiksa di lab setiap hari, maka lab-lab kesehatan tersebut perlu mendapatkan dukungan dari Pemda agar tetap dapat beroperasi secara optimal. Pasalnya, kecepatan dan kapasitas lab yang memadahi sangat penting untuk mendukung keberhasilan penanganan Covid-19 di DIY.

“Saya melihat sendiri bagaimana laboratorium laboratorium Di DIY bekerja sangat keras ditengah keterbatasan fasilitas, SDM, maupun pembiayaan,” kata Huda dalam pernyataan tertulisnya.

Bahkan, kata dia, beberapa laboratorium yang sebelumnya digunakan untuk keperluan lain, terpaksa diubah menjadi lab Covid-19. Diantaranya, Lab mikrobiologi UGM, BBTKLPP, lab di RSUP Dr. Sardjito, lab di RSPAU Hardjolukito, dan BBVet Kulon Progo. Dari pengalihan fungsi itu, kapasitas lab di DIY kini mencapai 1.500 sampel per hari. Kapasitas terbanyak di lab BBTKLPP yang bisa menggarap 1.000 sampel dengan 15 jam kerja per hari.

“Tambahan paling penting adalah SDM laboran yang kompeten agar bisa berbagi kerja dengan SDM yang saat ini sudah ada. Sebab, beberapa laboratorium bisa menambah shift kerja untuk menaikkan kapasitas, tetapi terkendala kurang SDM,” usul politisi PKS ini.

Selain itu, imbuh huda, dukungan APD, peralatan lab, PCR, operasional, reagen,dan berbagai keperluan lain juga sangat diperlukan.

Untuk itu pihaknya meminta agar Dinkes DIY segera berkoordinasi termasuk dengan Pemda Jateng untuk melakukan pendataan kebutuhan di lab, sehingga bisa terpenuhi.

Di lain pihak, Huda juga mengapresiasi langkah Gubernur DIY yang memperpanjang status tanggap darurat untuk ketiga kalinya, pada 30 Juli kemarin.

“Ini mengisyaratkan bahwa penanganan Covid-19 memerlukan strategi nafas panjang. Kita belum tahu sampai kapan akan diakhiri status tanggap darurat ini,” ucapnya.

Pihaknya berharap, status tanggap darurat akan diberlakukan terus untuk memudahkan penanganan Covid-19, dan administrasi pemerintah, serta kewaspadaan masyarakat.

“Keberhasilan penanganan Covid-19 dalam jangka panjang sangat tergantung dari ketahanan Rumah sakit dan laboratorium,” anggapnya.(Rep-02)

DIY Perpanjang Lagi Masa Tanggap Darurat Covid-19

Gubernur DIY (kiri) dan Wakil Gubernur DIY (kanan) saat menggelar rapat tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kamis (30/7/2020) (dok. screenshot video Humas Pemda DIY)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pemerintah Daerah (Pemda) DIY kembali memperpanjang status tanggap darurat bencana Covid-19 yang akan berakhir pada 31 Juli besok

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Kadarmanta Baskara Aji mengatakan, Gubernur telah menetapkan perpanjangan status tanggap darurat Covid-19 di DIY hingga akhir bulan Agustus 2020 mendatang.

“Status bencana nasional sampai dengan hari ini belum dicabut oleh Presiden. itu salah satu dasar,” jelas Aji di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kamis (30/7/2020).

Selain itu, lanjut Aji, perkembangan kasus terkonfirmasi positif di DIY masih cenderung fluktuatif. Di samping itu juga ada kebutuhan-kebutuhan penanganan Covid-19 dalam kondisi tanggap darurat, seperti persiapan pemulihan ekonomi, pemberian bantuan sosial, dan juga penanganan di bidang kesehatan.

Perpanjangan masa tanggap darurat tersebut dituangkan secara tertulis dalam Surat Keputusan Gubernur DIY No. 227/KEP/2020 tentang Penetapan Perpanjangan Ketiga Status Tanggap Darurat Bencana Covid-19 di DIY yang ditandatangani pada 30 Juli 2020.

Dengan perpanjangan masa tanggap darurat ini, maka Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X memugaskan agar Wakil Gubernur DIY mengambil langkah dan tindakan yang diperlukan untuk pencegahan dan penanganan dampak buruk bencana non alam terebut.

“Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2020,” tulis Sultan. (Rep-02)