Melakukan impor beras di saat petani Indonesia panen raya padi, agaknya merupakan kebiasaan yang ingin dibangun pedagang yang dekat dengan penguasa Indonesia. Selalu saja soal ini menjadi masalah dari tahun ke tahun dan menjadi salah satu kontroversi pemerintah satu ke pemerintah yang lain.
Tahun ini, rencana impor beras dari Thailand, sempat direncanakan akan di lakukan pemerintah Indonesia, ketika panen raya tiba. Petani Thailand sedang panen raya. Jika itu dilakukan, maka pemerintah kita akan menolong petani Thailand dengan korban petani Indonesia sendiri. Sungguh ironis.
Saya ditanya, apakah ada solusi yang lebih baik? Jawab saya, tentu saja ada. Selalu ada pemecahan masalah, sepanjang memohon pada Allah SWT, berpikir jernih dan sungguh-sungguh berusaha memecahkan masalah bersama. Teori dan konsep dipakai sejauh tersedia, ditambah menemukan upaya baru, maka win-win solution akan ditemukan.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memetakan para stakeholders yang terlibat di ekonomi politik beras, dan mengetahui apa kepentingannya.
Pelaku pertama yang paling penting untuk dicatat, adalah petani kita sendiri. Mereka pelaku utama penyedia makanan pokok kita. Jumlahnya, jutaan keluarga. Kebijakan yang dibutuhkan untuk mereka sederhana. Tidak aneh-anah. Yaitu, saat mereka menanam, sarana produksi seperti pupuk dan sarana produksi lain tersedia dengan harga terjangkau. Dan saat panen, produksi mereka diluar yang dikonsumsi sendiri, terserap aman dengan harga yang baik atau wajar. Harga tinggi adalah bonus buat mereka.
Maka secara praktis pemerintah pusat dan daerah harus memastikan sarana produksi tersedia dengan harga wajar saat musim tanam tiba, dan melalui Bulog beras petani diserap. Pemda-pemda dan juga lembaga ekonomi desa semacam Bumdes, bisa ikut terlibat untuk memastikan produk petani berupa gabah dan beras terserap dengan harga wajar.
Tentu saja butuh dana di situ, karenanya harus disiapkan rencana yang baik sejak awal. Dana harus disediakan pemerintah pusat daerah dan juga Bumdes. Gudang-gudang juga harus diadakan. Sesudah beberapa lama disimpan, maka Bulog, Pemda dan Bumdes, bisa mengubah simpanan padi menjadi beras. Lalu di saat panen raya sudah lewat, beras tersebut dapat dijual ke pasar dengan harga yang baik, sehingga ada keuntungan yang didapat secara reguler setiap tahunnya.
Sekitar 10 tahun lalu, saya pernah meminta tolong pada sahabat saya Dr. Rofandi Hartanto, pakar pertanian dari Fakutas Pertanian UNS Surakarta, untuk menghitung, berapa sebenarnya produksi padi kita per tahun. Berapa jumlah konsumsi beras per tahun, dan berapa surplus atau defisit beras kita setiap tahun.
Beras adalah makanan pokok kita, dan beras adalah barang dengan nilai politik yang tinggi. Jika petani dirugikan, akan menciptkan keresahan sosial. Jika konsumen beras di kota-kota besar menghadapi harga beras yang mahal apalagi langka di pasar, maka posisi penguasa juga bisa dalam bahaya. Sebagai gambaran issue langkanya barang kebutuhan pokok mengiringi jatuhnya Bung Karno, Pak Harto, juga Gus Dur. Jadi yang harus diperhatikan di sini, adalah sisi produksi di petani, dan konsumsi di konsumen kota bukan petani.
Dari pendataan yang dilakukan oleh Rofandi, didapat data jumlah padi yang dihasilkan petani dengan produktifitas yang masih bisa ditingkatkan, mencapai kisaran 55juta ton gabah kering giling (GKG). Kekurangan sekitar 1 juta ton. Angka 1 juta ton inilah yang menjadi masalah.
Setelah sekian tahun, angka yang relatif sama, saya dapatkan dengan melihat survey BPS. Berdasarkan hasil Survei KSA pada 2019, luas panen padi diperkirakan sebesar 10,68 juta atau mengalami penurunan sebanyak 700,05 ribu hektar (6,15 persen) dibandingnya tahun 2018. Sementara itu, produksi padi pada 2019 diperkirakan sebesar 54,60 juta ton GKG. Jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras pada 2019 mencapai sekitar 31,31 juta ton, atau mengalami penurunan sebesar 2,63 juta ton (7,75 persen) dibandingkan dengan produksi beras tahun 2018
Jika pemerintah memastikan impor, maka pastilah pertimbangannya karena ada kebutuhan untuk menjaga cadangan pangan rakyat. Pedagang beras yang dekat dengan pemerintah, akan mengambil peran di sisi. Kebutuhan kekurangan beras yang dilakukan dengan impor itu tentu sesuatu yang menguntungkan. Mereka butuh untung. Jika kepentingan mereka dihapus, mereka merasa ditelantarkan pemerintah. Dan muaranya di politik. Mereka akan mencari pejabat dan wakil rakyat yang pro pada kepentingan impor beras. Prinsip dasar ekonomi, bahwa tidak ada yang gratis itu, berlaku di politik beras, karena menyangkut pekerjaan senilai 1 juta ton atau lebih.
Lantas apakah ada solusi yang menyenangkan kaum pedagang beras, sekaligus membuat aman pemerintah? Ada. Pebisnis dimanapun, dan di sini adalah pegagang beras, adalah partner penjaga kebutuhan aman beras konsumen kota. Pemerintah harus baik berhubungan dengan mereka, tetapi juga sekaligus menjaga kepentingan petani dan konsumen langsung. Petani harus diamankan, konsumen juga harus diamankan, dengan mendapatkan harga terjangkau.
Semua usaha yang dilakukan untuk memuaskan pihak-pihak berkepentingan itu, harus berangkat dari kejujuran dalam menyampaikan data. Data produksi padi atau beras dalam negari. Data kebutuhan konsumen. Data surplus atau defisit beras tahunan yang mengharuskan eksport atau impor.
Jika ada keharusan mengimpor pun, ada syarat-syarat yang bisa diminta dilakukan agar mendapat beras yang berkuas baik. Dulu di masa akhir tahun 1996, pernah dilakukan dua pesawat terbang hasil produksi BUMN IPTN, ditukar dengan 110.000 ton beras ketan dari Thailand.
Waktu itu pemerintah butuh cadangan beras ditambah, dan butuh pula pasar pesawat diserap. Meskipun merupakan kebijakan yang normal, tapi media massa waktu itu banyak menjadikannya olok-olok. Terutama Menristek Habibie, menjadi bulan-bulanan kebijakan yang sama-sama menguntungkan kedua negara itu. Tetapi ada pula usulan bagus, dari mantan rektor UGM prof Teuku Jacob. Pak Jacob mengusulkan agar pemerintah kita meminta pembayaran pesawat kita yang dibeli Thailand dengan beras premium yang diproduksi petani Thailand. Selain beras ketan bisa pula dibayar dengan merah dan beras hitam.
Beras impor kualitas premium itu dijual aja di pasar menengah atas jika bulog mau ambil untung. Atau di jual di pasar biasa, jika ingin memberi rakyat beras yang lebih baik. Dengan catatan keras tentu saja. Beras milik rakyat sendiri, sudah diserap bulog dan pemda-pemda dengan harga baik.
Pemerintah Thailand, USA, Jepang dan negara manapun sebagaimana kita, membutuhkan keamanan dari gangguan politik, baik parlemen, media maupun jalanan. Dalam hal kepentingan petani, mereka akan mengusahakan petani sejahtara, terpenuhi kebutuhannya, karena jumlah suara mereka besar. Demikian juga dalam hal konsumen beras kota, mereka ingin mendapatkan beras murah. Seni memimpin dibutuhkan di sini.
Ada contoh menarik dari masa lalu, ketika terjadi perang dagang Jepang vs USA tahun 1980-90an. Jepang sedang jaya ekonominya. Situasi yang hampir sama dengan sekarang ketika Cina berhadapan dengan USA. Jepang dipaksa USA lewat WTO melalui issue keharusan fair trade dengan senjata kecil saja : beras.
Pemerintah Jepang dipaksa untuk mengimpor beras, meskipun tidak butuh, jika ingin produk-produknya seperti mobil dan elektronika, tidak mendapat gangguan embargo dari Amerika. Nilai dollar beras USA ke Jepang, kelihatannya tak cukup signifikan. Senjata Amerika bernama beras ini kelihatan sepele, tapi tujuannya jelas. Politik Jepang akan diacak-acak. Basis dukungan politik partai berkuasa Jepang LDP waktu itu, adalah petani produsen beras, dengan jumlah suara besar. Jika para petani kepentingannya terganggu, LDP sebagai partai penguasa akan bubar kehilangan dukungan petani. Saya mendapat cerita ini dari mas Nanang Pamuji dosen Fisipol UGM, yang waktu itu kuliah di Jepang.
Apa akal pemerintah Jepang waktu itu? Harga beras jepang waktu itu jika dirupiahkan sekitar Rp 40.000 per kilogram. Beras thailand, USA dll., hanya sekitar Rp 4.000. Meskipun dari sisi rasa tetap enak beras Jepang, tapi jika harga di pasaran jaraknya bumi langit, maka pastilah konsumen meninggalkan produk petani sendiri. Tapi kekhawatiran itu bisa diabaikan dengan sebuah rencana yang cerdas.
Pemerintah Jepang membolehkan beras impor masuk ke Jepang dengan syarat. Yang membeli dan mengedarkan adalah pemerintah Jepang melalui Bulognya. Maka dilakukanlah impor beras dari Amerika dan negara lain oleh Jepang.
Sesudah impor beras dilakukan, barang-barang ekspor Jepang aman dari ancaman embargo USA. Barang-barang Jepang tetap masuk USA, dan beras impor dari USA dan negara lain masuk Jepang, dan beras impor itu, juga ada di pasaran Jepang. Harga Beras Jepang tetap Rp 40.000, tapi harga beras impor yang ketika dibeli Bulognya Jepang seharga hanya Rp 4000, dilepas ke pasaran dengan harga Rp 38.000. Sedikit lebih murah dari beras Jepang.
Orang jepang yg paham bahwa mereka sedang perang dagang, tetap beli berasnya sendiri, meskipun harganya lebih mahal sedikit dari beras impor. Dan dari pengamatan, yang membeli beras impor yang sedikit lebih murah dibanding beras Jepang, adalah warga asing, diantaranya para mahasiswa.
Selain itu, keuntungan dari selisih beli dan jual yang didapat oleh pemerintah Jepang, digunakan untuk mensubsidi para petani Jepang.
Sekali lagi, saya kira kitapun dapat menemukan solusi cerdas atas semua persoalan yang dihadapi dunia pertanian kita, khususnya menyangkut petani kita dan warga pada umumnya, jika kita tidak malas berpikir, dan selalu memohon petunjuk pada Allah SWT. Al Fatehah. Aamiin
M. Faried Cahyono
Ditulis ulang dari FB. Jumat, 16 April 2021
Petani kita
Image credit : bumisetrojenar.blogspot.com