Perhutanan Sosial, rakyat mendapat manfaat tidak?

Perhutanan Sosial, adalah sebuah program ambisius yang dilakukan Presiden Jokowi dengan membagikan lahan eks hutan negara (semula dikelola Perhutani) sebanyak 1 juta hektar, kepada rakyat. Program diharapkan memberikan rakyat akses lahan yang dibutuhkan untuk bertani beternak berkebun yang memungkinkan rakyat sejahtera.

Sementara lahan hutan yang dinilai telantar di tangan BUMN (Perhutani) menjadi lebih terurus. Tapi di lapangan program tidak berjalan sebagaimana diharapan Presiden Jokowi. Program dilanjutkan Prabowo, tetapi di lapangan, program tak juga segera berjalan maju. Apa masalahnya?

Dr. Aprisep Ferdhana Kusuma, ASN Departemen Kehutanan dari NTT yang meneliti Perhutanan Sosial untuk disertasi S3 di UGM menemukan fakta-fakta yang mengejutkan. Rakyat, kata Aprisep, tidak mudah mendapakan akses yang sudah dibuka Jokowi.

Yang memanfaatkan program Perhutanan Sosial adalah para broker pabrik tebu, petani-petani kaya yang sebelumnya sudah memiliki lahan luas di desa, oknum kepala desa, oknum TNI dan Polri. Sementara rakyat yang diinginkan dapat lahan tidak mampu mendapatkannya karena tiadanya modal untuk mengurus. Aturan juga dinilai rumit.

Di luar itu, Perhutani yang memiliki hak pengelolaan di masa sebelum Perhutanan Sosial, masih memiliki hak 5 tahun masa transisi. Aset perhutani berupa pohon-pohon tertanam yang akan dan siap panen serta pohon yang baru ditanam, menjadikan Perhutani menjaga lahan agar tidak lepas dari tangan.

Akibatnya, konflik kepemilikan terjadi. Belum lagi antar rakyat beda desa terkait lokasi lahan. Tentu, ini butuh diurai dan dicarikan jalan pemecehan yang sebaik-baiknya. Wawancara dengan narasumber kali ini, dimaksudkan untuk mendapatkan masukan, bagaimana peta di lapangan sebenarnya. Semoga bermanfaat.

 

Pos terkait