Sampah, Problem Visual yang tak Kunjung Usai di Yogya

depo sampah
Tumpukan sampah di epo sampah Kotabaru Yogyakarta. (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Di balik tagline “Jogja Berhati Nyaman” ada problem visual di Kota Yogyakarta yang tidak hanya menimbulkan ketidaknyamanan mata, tetapi juga mencemari lingkungan. Problem visual itu adalah tumpukan sampah di depo-depo.

Dari pantauan kabarkota.com, depo sampah Kotabaru yang sebelumnya sempat kosong, kini tumpukan sampah yang dibungkus kantong-kantong plastik hitam berukuran besar mulai menggunung. Sementara, di sebelah depo tersebut berjajar kios-kios penjual bunga segar, yang notabene menjadi pusat wisata bunga di Kota Yogyakarta. Di depo sampah Mandala Krida pun kondisinya juga tak jauh beda. Daya tampung yang lebih besar dibandingkan depo Kotabaru, sampah yang ada di depo Mandala Krida juga hampir overload.

Bacaan Lainnya

DLH Kota Yogya: Pengelolaan Sampah masih Menjadi PR

DLH Yogyakarta
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah DLH Yogyakarta, Ahmad Haryoko. (dok. kabarkota.com)

Kepala Bidang Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko mengungkapkan, potensi timbunan sampah mencapai 332,40 ton per hari. Dari jumlah tersebut, pengurangan sampah di Kota Yogyakarta baru sekitar 63 ton per hari (18,95 persen). Sedangkan penanganan sampahnya sekitar 216,49 ton per hari (65,11 persen) sehingga sampah yang belum terkelola kurang lebih 52,98 ton per hari (15,94 persen).

“Ini masih menjadi PR kami untuk pengelolaan sampah,” kata Haryoko dalam Diskusi Forum Wartawan Unit DPRD DIY tentang Pengelolaan Sampah di DIY pasca Penutupan TPST Piyungan Bantul, pada 13 November 2025.

Menurutnya upaya pengelolaan sampah di sektor hilir dilakukan dengan cara daur ulang untuk pengurangan sampah. Sedangkan pengelolanan sampah dilakukan dengan pengumpulan dan pemilahan sampah di depo maupun Tempat Pegelolaan Sampah (TPS), serta bekerjasama dengan Unit Pengolahan Sampah (UPS) atau pun bermitra dengan pihak swasta untuk pemrosesan akhir sampah yang telah dipilah.

“Kami masih bertumpu pada pengelolaan sampah swasta, melalui kerjasama dengan ITF (Intermediate Treatment Facility) Bawuran yang dikelola oleh Perumda Aneka Dharma Kabupaten Bantul,” jelasnya. Di samping juga mengoptimalkan TPS/TPS3R, bank sampah, dan program-program pengelolaan sampah di Kota Yogyakarta.

Selain itu, sebut Haryoko, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul, Pemkab Sleman, dan Perintah Daerah (Pemda) DIY sedang menyiapkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) untuk merealisasikan proyek Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di DIY, yang digagas oleh Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI.

Haryoko menyampaikan bahwa berdasarkan informasi dari Daya Anagata Nusantara (Danantara), prioritas pembangunan PSEL hanya di Bali dan DIY sebagai proyek pertama. Untuk itu, pihaknya berharap proses tender selesai pada akhir tahun 2025 ini sehingga peletakan batu pertama bisa dilaksanakan sesuai target, pada Maret 2026 mendatang.

Harapan Penyelesaian Problem Sampah melalui PSEL

Diskusi Forum Wartawan Unit DPRD DIY tentang Persampahan, pada 13 November 2025. (dok. kabarkota.com)

Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD DIY, Nur Subiyantoro berharap, keberadaan PSEL bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan sampah di DIY. Terlebih pasca penutupan permanen TPST Piyungan nantinya. Meskipun, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, seperti pasokan 1.000 ton sampah per hari sehingga harus ada koordinasi antarwilayah. “Kita semua harus mengawal ini,” pintanya.

Lain halnya dengan Sekretaris Komisi C DPRD DIY, Amir Syarifudin. Baginya, tidak masalah nantinya sampah akan dioleh menjadi energi listrik, biogas, maupun pupuk, selama persoalan sampah di DIY bisa segera teratasi.

Amir yang juga warga Piyungan, Bantul mengatakan, selama 31 tahun terakhir, warga sekitar TPST Piyungan sangat merasakan dampak buruk dari keberadaan sampah di sana. Ia mencontohkan, ada sebagian masyarakat yang akhirnya urung melaksanakan salah berjamaah di masjid karena bau busuk sampah yang menyengat. Pernah juga kejadian dalam satu bulan tiga orang meninggal dunia karena tetanus. Ini diduga akibat ada oknum yang membuang limbah rumah sakit, seperti alat suntik bekas sehingga limbahnya mengenai 50-an hektar area persawahan warga.

“Waktu kami masih bersama Pak Nur Subiantoro di DPRD Bantul, itu air sumur warga seperti oli,” sesalnya. Bahkan, ada seorang warga yang karena terkena e-coli terpaksa harus periksa di sejumlah Rumah Sakit (RS) dan direkomendasikan untuk berobat ke luar neeri dengan biaya Rp 350 juta.

PSEL perlu Tata Kelola Menyeluruh

Sementara itu, praktisi pengolahan sampah, M. Sholahuddin Nurazmy berpendapat bahwa masalah warga di sekitar TPST Piyungan Bantul selama 31 tahun itu berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang semestinya dijamin oleh negara. Mereka berhak mendapatkan tempat yang layak, tanpa polusi sampah maupun asap.

Menyinggung soal rencana pembangunan ITF yang akan didukung pembiayaannya oleh Danantara, Sholahuddin menilai, meskipun secara teknologi bagus, tetapi tatak kelola yang baik, termasuk infrastruktur ekonomi sebagai pendukungnya juga perlu dipikirkan.

“Apakah kemudian ini akan bisa berjalan dengan baik, kalau tidak didukung dengan tata kelola yang menyeluruh?” tanyanya.

Walhi Yogya: PSEL sangat Riskan

Sebelumnya pada 24 Oktober 2025 lalu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta telah merilis bahwa rencana pembangunan PSEL di Padukuhan Ngablak, Kalurahan Bawuran, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul yang akan beroperasi pada 2027 mendagang justru menjadi ancaman yang memperparah degradasi lingkungan di Piyungan.

TPST Piyungan
TPST Piyungan, Bantul sebelum ditutup. (dok. kabarkota.com)

Kepala Divisi Kampanye dan Advokasi Walhi Yogyakarta, Elki Setiyo Hadi menilai, pembangunan PSEL masih belum menjadi solusi atas permasalahan sampah di DIY, melainkan justru berpotensi besar menimbulkan pencemaran udara.

“Proyek PSEL ini sangat riskan,” ucap Elki. Terlebih dengan melihat proyek-proyek serupa sebelumnya, seperti PLTSA di Surabaya dan Solo yang belum mampu menyelesaikan permasalahan sampah di wilayah urban maupun wilayah penyangga.

Elki juga menganggap, proyek yang rencananya dibangun di dekat TPST Piyungan ini juga terkesan dipaksakan. Mengingat proyek sebelumnya, yakni ITF Bawuran belum beroperasi secara optimal, lantaran hanya mampu mengolah 25-30 ton/hari atau tidak sesuai target.

“Rendahnya angka pemilahan sampah menambah pemicu semakin berbahayanya apabila proyek waste to energy melalui PSEL ini dipaksa untuk digenjot,” tutur Elki.

Pihaknya menyebut, penyelesaian masalah sampah dengan menggunakan mesin dan metode insenerasi, terbukti tidak efektif. Di sisi lain, proyek waste to energy di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan. Ditambah lagi dengan keterlibatan Danantara sebagai lembaga baru yang belum teruji.

Oleh karenanya, Walhi Yogyakarta meminta, Pemda DIy beralih dari solusi penyelesaian sampah menggunakan metode pembakaran (insenerasi) ke solusi-solusi yang menekankan prinsip keadilan, dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk warga terdampak. Pemerintah juga perlu menawarkan solusi yang inklusif, dan membangun pengelolaan sampah berbasis pada pengetahuan lokal, mengoptimalkan penguranan sampah di hulua, dan memulihkan lingkungan di sekitar TPST Piyungan. (Rep-01)

Pos terkait