“Mahasiswa UGM Banyak Disingkirkan Karena Terindikasi Simpatisan Komunis”

Suasana diskusi "Universitas di Persimpangan Zaman”, di Yogyakarta, Selasa, (24/11). (Rimba/Kabarkota.com)
YOGYAKARTA (Kabarkota.com) – Menjelang peristiwa 65 banyak universitas yang dijadikan alat politik oleh pemerintah. Universitas dikenai beban politik dengan cara-cara yang beragam. 
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah UGM, Abdul Hamid, menjelaskan, pemerintah menjadikan universitas sebagai alat politik sejak masa Sukarno dengan jargonnya, universitas harus menjadi alat revolusi.
Pada akhir masa pemerintahan Sukarno, jelas Hamid, terjadi persaingan ketat antar partai-partai dalam melakukan kaderisasi di universitas. Partai Komunis Indonesia menjadi salah satu partai yang jumlah kadernya berkembang pesat.  
“Strategi PKI sangat modern dengan membangun kader melalui institusi pendidikan, antara lain dengan mendirikan Universitas Rakyat,” ,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Universitas di Persimpangan Zaman”, di Yogyakarta, Selasa, (24/11)
Menurut Hamid, masuknya politik di universitas menyebabkan suasana akademik yang tidak kondusif. Secara garis besar organisasi terbagi menjadi dua golongan, agamis dan sekuler. Organisasi agamis meliputi HMI, PMII, IMM. Sedangkan organisasi nasionalis atau sekuler seperti GMNI, dan Germindo.
Penumpasan orang-orang yang diduga kader PKI di universitas, ungkap Hamid, diawali dengan terbitnya SK nomor 22 yang menyerukan setiap universitas melakukan mengumpulkan data riwayat mahasiswa. Mahasiswa yang diindikasi terlibat unsur komunis atau terbukti dari keluarga anggota PKI akan disingkirkan. 
Bahkan menurut hasil penelitiannya, Hamid mengklaim mahasiswa UGM yang paling banyak disingkirkan karena terindikasi simpatisan komunis. Ada 3059 mahasiswa dan 115 dosen atau staf UGM yang diawasi pemerintah karena adanya indikasi tersebut.
“Dampak dari peristiwa 65 yang dilakukan secara kelembagaan di universitas adalah hilangnya kebebasan kajian akademik. Banyak buku-buku yang dilarang beredar dan ada teori-teori sosial yang dilarang dipelajari,”  jelas Hamid. (Ed-01)
Kontributor: Hartanto Ardi Saputra

Pos terkait