Sarasehan tentang Gotong Royong Meluruskan “Jalan” Desa, di Pendopo Maos Tradisi, Jumat (21/7/2018). (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Sejatinya kehadiran Undang-undang (UU) Desa sejak tiga tahun lalu, bertujuan untuk menempatkan desa sebagai subyek pembangunan di wilayahnya sendiri, sehingga masyarakatnya lebih berdaya.
Namun pada kenyataannya, hingga tiga tahun UU No 6/2014 ini diimplementasikan, desa belum bisa sepenuhnya menjalankan kewenangan tersebut karena terikat aturan pelaksanaan dibawahnya yang seringkali justru penghambat pembangunan di pedesaan.
Hal itu sebagaimana diungkapkan Sekretaris Desa (Sekdes) Siraman, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, Tri Wulansari, dalam Sarasehan tentang Gotong Royong Meluruskan “Jalan” Desa, di Pendopo Maos Tradisi, Jumat (21/7/2018). Salah satunya ia menyebut tentang program Padat Karya Tunai di Desa (PKTD) yang didasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, pada 18 Desember 2017 yang justru membingungkan. Terlebih, PKTD muncul setelah APBDes ditetapkan.
Memurutnya, jika mengacu pada PKTD, maka pihaknya harus membuat Rencana Anggaran Pembangunan (RAP) dengan Harian Orang Kerja (HOK) 30% dari total seluruh pembangunan di desa. Padahal, pembangunan desa tidak sebatas pembangunan fisik, tetapi juga mental. Di sisi lain, mereka juga harus patuh pada analitis SNI.
“Kalau (HOK) 30% dari total seluruh pembangunan itu nanti ketemunya akan sangat jauh dari analitis SNI,” kata Tri.
Sebab, lanjutnya, jika pembangunan mengacu pada analitis SNI, maka kebutuhan HOK kurang dari 30%. Akhirnya karena dua kebijakan yang bersebrangan tersebut, desa tidak melaksanakan pembangunan. Ada ketakutan dari perangkat desa jika nantinya saat diaudit oleh pemerintah, hasilnya akan berbeda sehingga rawan diperkarakan ke ranah hukum.
Di lain pihak, staff khusus kepresidenan RI, AAGN Ari Dwipayana juga menyatakan bahwa munculnya PKTD ini sebenarnya untuk mendorong kementerian-kementerian agar programnya memberikan impact langsung kepada 40% masyarakat kelas terbawah. Mengingat, selama ini, besarnya gelontoran dana desa tak mampu memberikan impact terhadap penurunan angka kemiskinan di pedesaan.
Meskipun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan secara nasional turun hingga sekarang kurang dari 10%, tapi ketimpangan di pedesaan justru naik. Itu terjadi karena, kenaikan pendapatan 20% masyarakat kelas teratas di desa lebih cepat ketimbang kenaikan pendapatan dari 40% kelas menengah dan 40% kelas terbawah.
“Kenapa 20% masyarakat di desa kenaikannya bisa lebih cepat dari yang 40% di bawah? Apakah Alokasi Dana Desa itu masih lebih banyak memberikan impact pada 20% teratas saja?” ujar Ari.
Direktur Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Susetyawan berpandangan bahwa sebelum adanya UU No.6/2014, desa menjadi obyek supra desa, dan setelah munculnya UU Desa pun, masih ada supra desa dan kebijakan pemerintah yang masih menjadikan desa sebagai obyek.
“Bayangan saya (dengan adanya UU Desa), apa yang direncanakan SKPD pada tingkat Kabupaten, Provinsi, hingga Kementerian itu mengacu dari bawah (desa),” ucap Susetyawan. Sebab dengan begitu, ketika aturan itu dikembalikan ke bawah, akan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Paparan berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Sekjen Kemendes & PDTT), Anwar Sanusi, yang menyatakan, sebelum lahirnya UU No.6/2014 ini, lebih dari 60% desa masih dalam kategori tertinggal, baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun ilmu.
Namun semenjak tiga tahun UU Desa diimplementasikan, pemerintah telah mampu melampaui target mengentaskan 5 ribu desa tertinggal dan 2 ribu Desa Mandiri hingga 2019. Berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) yang dikeluarkan Kemendes & PDTT, hingga akhir 2017, telah ada sebanyak 2.400-an desa mandiri, dan 8 ribuan desa dientaskan dari ketertinggalan.
Hanya saja, pihaknya juga tak memungkiri jika masih banyak program-program dari pemerintah yang ketika turun ke tingkat bawah, sering tidak dipahami atau bahkan gagal paham.
(sutriyati)