SLEMAN (kabarkota.com) – Rentetan banjir besar yang melanda sejumlah daerah di Indonesia akhir-akhir ini, selain dampak dari hujan ekstrem akibat siklon tropis dan deforestasi yang parah, juga akibar tata ruang yang tidak berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS).
Hal tersebut sebagaimana disampaikan Pakar pengelolaan DAS dari Fakultas Kehutanan (FK) UGM, Muhammad Chrisna Satriagasa, melalui podcast our concern di kanal youtube M. Faried Cahyono, pada Senin (1/12/2025).
Gasa berpendapat bahwa semestinya konsep daser penataan ruang mengacu pada karakter ekosistem DAS. Sebab, tata ruang yang tidak berbasis pada ekosistem DAS mengakibatkan wilayah hulu, tengah, dan hilir sungai tidak harmonis.
“Pembangunan di suatu wilayah terutama dalam satu landscape daerah aliran sungai itu harus terintegrasi antara
hulu, tengah, dan hilir,” kata tenaga pengajar lulusan Kasetsart University, Thailand ini.
Namun menurutnya, kebijakan otonomi daerah telah mendorong daerah-daerah berebut untuk segera melakukan pemekaran sehingga pembangunannya juga berbasis batas administratif. Padahal, dulu daerah asalnya masih cenderung satu ekosistem DAS.
Akibat pemekaran itu, kata Gasa, wilayah hulu, tengah dan hilir sungai bisa sendiri-sendiri karena masing-masing daerah berusaha meningkatab Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan cara mengubah kawasan hutannya menjadi wilayah produktif, seperti perkebunan sawit. Padahal, tanaman sawit bukan termasuk jenis pohon yang bisa menyerap dan menahan air, terutama di musim hujan.
“Akibarnya, area yang sebelumnya hutan kemudian berubah menjadi perkebunan sawit, kehilangan fungsi ekologis utamanya dalam menahan limpasan air,” paparnya.
Lebih lanjut, Gasa berpandangan bahwa solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya dengan skema payment for ecosystem services (PES) sebagai pendekatan ilmiah yang memungkinkan wilayah hilir membayar wilayah hulu guna menjaga hutan.
“Skema ini pernah dicoba di beberapa DAS besar tetapi belum berjalan optimal,” sesalnya. Padahal, ketika masyarakat di wilayah hulu bisa menjaga ekosistem, maka di hilir bisa mendapatkan manfaat langsung. Hanya saja, implementasinya memang rumit. Terlebih karena tumpang tindih administrasi dan kepentingan daerah.
Untuk itu, Gasa menekankan perlunya kebijakan lintas daerah dengan perspektif kesatuan ekosistem. “Setelah ruangnya ditata, baru izin-izin dan aktivitas ekonomi bisa ditentukan,” jelasnya. Mengingat banjir akan terus berulang, selama penataan ruang tidak kembali mengacu pada karakter DAS dan kerusakan hutan tidak segera dipulihkan.
“Cuaca ekstrem itu hanya pemicu, tapi bencana terjadi karena landscape-nya sudah rusak,” sebutnya. (Rep-01)







