YOGYAKARTA (kabarkota) – Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor) menganggap, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah gagal dalam mengemban amanah para korban pelanggaran HAM, khususnya di era Orde Baru. Pendapat itu disampaikan Koordinator Peneliti Imparsial, Gufron Mabruri, dalam Seminar Nasional tentang HAM dan Launching Laporan Riset “Evaluasi Peran Komnas HAM di Masa Reformasi”, di kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Senin (28/4).
Tingginya angka pengaduan kasus ke Komnas HAM memang menunjukkan ekspektasi besar masyarakat, khususnya korban, terhadap lembaga ini. “Sayangnya, peran Komnas HAM dalam penanganan kasus-kasus tersebut belum maksimal,” ujarnya.
Selama ini, rekomendasi Komnas HAM juga belum efektif karena tidak memaksa para pihak, khususnya pelaku, untuk menjalankannya.
Meski secara hukum kuat, kata Gufron, Komnas HAM sering mendapat banyak sorotan, terkait isu keterwakilan, independensi, dan integritas. Ia menganggap, lembaga negara tersebut tidak independen, karena proses seleksi komisioner sarat dengan kepentingan politik.
“Dukungan politik yang lemah dari pemerintah dan DPR, telah melemahkan Komnas HAM,” anggap Gufron.
Secara umum, penilaian Imparsial terhadap kinerja Komnas HAM ini menyangkut lemahnya kepemimpinan ketua Komnas HAM, kurangnya lobi, dan kerjasama dengan pemerintah, kejaksaan agung, dan DPR. Ditambah lambannya lembaga tersebut dalam merespon dan memonitor kasus, serta minimnya pemahaman perspektif HAM.
Imparsial merekomendasikan sejumlah hal guna mendorong optimalisasi kinerja Komnas HAM. Antara lain, memperbaiki kerangka regulasi yang mengatur eksistensi dan peran Komnas HAM, seperti Undang-Undang No 39 Tahun 1999 dan Undang-Undanng No 26 Tahun 2000.
Sosiolog UGM, Ari Sujito juga berpendapat, selami ini Komnas HAM tidak memiliki “power” yang cukup memadahi, sehingga hanya diposisikan sebagai ornamen lembaga negara.
“Praktik militerisme bermutasi ke dalam milisi-milisi sipil,” ucap Ari. Bahayanya, kudeta senyap ini akan menghancurkan, jika negara gagal mengatasinya.
Oleh karenanya, menurut Ari, gerakan sosial perlu mendorong institusi Komnas HAM agar tidak terjadi deadlock demokrasi. “Jangan sampai otoriterisme dan neo-otorisme itu kembali,” harap Ari.
Koordinator Lingkar Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (LinK-DeHAM) Fakultas Ilmu Sosial UNY, Halili Hasan mengatakan, tragedi Mei memberikan sinyalemen kuat penyelamatan orang-orang kuat yang diduga menjadi aktor intelektual atas penembakan dan penyiksaan para aktivis ketika itu.
“Tidak jauh berbeda, dalam kasus Trisakti yang ditumbalkan juga hanya sejumlah pelaku lapangan yang dimeja-hijaukan melalu pengadilan militer. Sedangkan petinggi militer dan polisi sebagai penanggung-jawab utama tidak tersentuh sama sekali,” ungkap Halili. (her/tri)