Ketika Anies Bicara Masa Lalu dan Masa Depan Usai Gagal ‘Nyagub’ di Jakarta

Gubernur DKI Jakarta ke-17, Anies Baswedan usai menghadiri Dialog “Demokrasi dalam Genggaman: Kepemimpinan Anak Muda di Era Digital” di Wisma Kagama Yogyakarta, pada 9 September 2024. (dok. kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Pendopo Wisma Kagama Senin siang itu penuh diduduki para peserta Dialog bertajuk “Demokrasi dalam Genggaman: Kepemimpinan Anak Muda di Era Digital” yang digelar oleh salah satu radio swasta di Yogyakarta.

Event ini cukup istimewa karena selain pesertanya mayoritas anak muda, dialog tentang kepemimpinan tersebut menghadirkan Gubernur DKI Jakarta ke-17, Anies Baswedan.

Riuh tepuk tangan dan sorak sorai bergema, ketika mantan Calon Presiden RI 2024 itu memasuki pendopo dan menyapa moderator dan audiens yang hadir.

Di awal perbincangan, moderator memantik pertanyaan soal masa lalu Anies ketika masih kuliah di UGM.

“Mas Anies katanya sempat kuliah di UGM. Jadi, tempat favoritnya, kantin di fakultas mana?” tanya moderator dialog, Khanza Khalisha, di Wisma Kagama, pada 9 September 2024

Anies yang juga alumnus Fakultas Ekonomi ini kemudian menceritakan tentang warung makan favoritnya, serta pertemuan pertama dengan sang istri, Fery Farhati yang ketika itu menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi di kampus yang sama.

Selain itu, mantan Rektor Universitas Paramadina ini juga bercerita tentang pergerakan para mahasiswa di kampus-kampus Yogyakarta pada masa itu. Mengingat, dirinya aktif berorganisasi. Termasuk, pernah menjadi ketua Senat Mahasiswa di Fakultas Ekonomi UGM, serta bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

“Pada masa itu, kami berhadapan dengan kekuatan yang kebanyakan dari Angkatan Bersenjata, bukan dari polisi. Jadi kalau demo, penjaganya dari TNI,” ungkap Anies.

Salah satu tantangan pergerakan pada masa itu, menurut Anies adalah membuat gerakan mahasiswa populer karena banyak dari mereka yang skeptis untuk mengikuti pergerakan di tengah kuatnya cengkraman penguasa era Orde Baru (Orba).

Suasana Dialog bersama Anies Baswedan di Wisma Kagama Yogyakarta pada 9 September 2024. (dok. kabarkota.com)

Salah satunya, dengan melakukan penelitian tata niaga cengkeh. Pada waktu itu cengkeh dikuasai oleh sekelompok orang yang dekat dengan kekuasaan, melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC).

Penelitian itu, kata Anies, melibatkan banyak sekali mahasiswa yang tidak biasanya mereka aktif di pergerakan. Dari situ, pelan-pelan mereka menjadi aktivis mahasiswa yang peduli untuk membela dan melawan ketimpangan atau hal-hal yang melenceng.

“Itu adalah salah satu contoh gerakan era 90-an,” ucapnya.

Anies menyebut, gerakan mahasiswa UGM di era itu menjadi inspirasi bagi mahasiswa di kampus-kampus lain, baik di dalam maupun di luar Yogyakarta.

“Saya berharap, Yogyakarta terus menjadi sumber inspirasi bagi gerakan mahasiswa,” sambungnya disambut tepuk tangan peserta.

Lebih lanjut Anies menilai bahwa generasi sekarang pun memiliki kegeraman atas praktik-praktik yang menyimpang. Sebab, seiring perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi saat ini, orang bisa dengan mudah menyaksikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di mana pun.

Anies juga menyebut, generasi sekarang memiliki daya lipat ganda yang luar biasa. Ia mencontohkan unggahan gambar garuda dengan background biru di X (twitter) bisa menggerakan banyak orang menggunakan gambar tersebut hingga muncul gelombang aksi kawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di berbagai daerah.

Masa Depan usai Gagal ‘Nyagub’ di Jakarta

Saat sesi tanya jawab, salah satu peserta, Dika menanyakan tentang masa depan Anies pasca gagal menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta.

Anies menegaskan bahwa dirinya akan terus berada dalam gerakan kemasyarakatan atau pun gerakan politik di Indonesia, dengan berbagai macam peranan. Baik ketika di dalam maupun di luar pemerintahan.

“Saya akan terus bergerak, baik dengan atau tanpa kewenangan untuk terus mengadvokasi masalah-masalah dan menyampaikan gagasan-gagasan untuk Indonesia yang bisa saya lakukan di manapun,” ungkapnya.

Menurutnya, hal terpenting saat ini bukan tentang kendaraan politik yang digunakan, melainkan nilai-nilai yang dipegang sehingga bisa menyatukan berbagai elemen masyarakat. (Rep-01)

Pos terkait