Lokasi pembangunan Bandara NYIA Kulon Progo (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Target minimum pengoperasian bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di wilayah Temon, Kabupaten Kulon Progo, DIY tidak beberapa bulan ke depan.
PT Angkasa Pura (AP) 1 selaku pelaksana dari salah satu mega proyek nasional tersebut terus berkejaran dengan waktu, untuk mencapai target penyelesaian pembangunan minimal 50%, pada April 2019 mendatang.
Di sisi lain, posisi bandara NYIA yang hanya berjarak ratusan meter dari pesisir pantai selatan Jawa ini, sejak awal juga menjadi sorotan publik, karena berada di kawasan yang potensi bencana alamnya, terutama gempa dan tsunaminya sangat besar.
Potensi Bencana Alam Nyata
Dari paparan peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko, dalam beberapa kesempatan, termasuk di Yogyakarta pada 14 Januari 2019 lalu menyebut, ada tiga megathrust yang benar-benar mengancam. Yakni megathrust di Enggano, di Selat Sunda, dan di Jawa Tengah yang potensi gempanya bisa mencapai 9 scala richter dan memicu tsunami dengan ketinggian 10 – 15 meter dari bibir pantai.
“Pertanyaannya, mitigasi apa yang cocok? karena kalau dijauhkan dari pantai, ada persoalan lahan dan sebagainya,” kata Widjo.
Kalau pun pemerintah mengklaim bahwa sebelum membangun bandara tersebut telah melibatkan para ahli dari Jepang, dan dalam negeri untuk melakukan kajian terkait kerawanan dan mitigasi bencananya, maka Widjo berharap agar hasil kajian tersebut dibuka secara transparan ke publik, sehingga bisa diketahui seperti apa hasil kajian dari para ahli yang dimaksud.
Mitigasi Bencana tanpa Anggaran Khusus?
Asisten Deputi Infrastruktur Pelayaran, Perikanan, dan Pariwisata Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Rahman Hidayat, pada kesempatan yang sama juga mengaku pihaknya telah meyakinkan pemerintah bahwa bandara NYIA harus dimitigasi. Kemudian keluarlah Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandara baru di Kulon Progo, pada 23 Oktober 2017.
Dalam Perpres tersebut, khususnya di pasal 16 Huruf E, pada intinya mengamanatkan agar Gubernur DIY, Bupati Kulon Progo, dan juga Bupati Purworejo sesuai dengan kewenangannya masing-masing melakukan penyesuaian tata ruang, memberikan persetujuan atas pemanfaatan tanah milik daerah dan negara dalam rangka pembangunan dan pengoperasian bandara Kulon Progo.
“Bandara baru mungkin nanti akan dimitigasi. Tapi dengan konsep Aeropolisnya, di mana ini akan menjadi pusat pengembangan kawasan baru, maka tata kelolanya harus diatur dan diwajibkan juga mitigasi bencananya,” tegas Rahman.
Diantaranya, lanjut Rahman, dengan melakukan pembangunan dan pemeliharaan sistem peringatan dini tsunami, serta penghalang tsunami (tsunami barrier).
Hanya saja, Rahman mengungkapkan, hingga saat ini belum ada anggaran khusus untuk mitigasi, padahal itu sebenarnya bagian dari investasi, sehingga idealnya, mitigasi menjadi bagian utuh dari pembangunan.
Tantangan Mitigasi: Ubah Cost Jadi Benefit
Sementara, Ketua Transformasi Cita Infrastruktur (TCI), Tri Budi Utama berpendapat bahwa mitigasi itu penting untuk meminimalisir resiko bencana, memperkecil kerugian material maupun korban jiwa akibat bencana, serta meningkatkan kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Untuk itu, bandara harus dirancang “ramah” terhadap tsunami.
“Ini hanya butuh kemauan dari pengambil kebijakan atau stakeholders terkait,” anggap Tri.
Kaitannya dengan bandara NYIA, Tri mengaku, TCI sebenarnya juga sempat memberikan usulan ke pemerintah, namun menurutnya tak mendapatkan respon. Pihaknya menduga, karena konsep yang diusulkan itu membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Sementara, mitigasi itu masih dianggap sebagai sesuatu yang tak menguntungkan bagi korporasi. Padahal, sesungguhnya itu bagian dari investasi.
Oleh karenanya, Tri menganggap perlunya mengubah cara pandang bahwa mitigasi itu sebenarnya bagian dari investasi yang juga menguntungkan.
“Intinya, bagaimana mengubah cost menjadi benefit. Bagaimana mengubah biaya menjadi keuntungan,” jelasnya.
Salah satu caranya, imbuh Tri, adalah dengan menyatukan sungai Serang dan Sungai Bogowonto yang mengapit bandara, lalu airnya diolah menjadi air bersih untuk menyupai kebutuhab air di bandara dan wilayah sekitarnya. Pihaknya berasumsi, jika kapasitas airnya bisa mencapai 2 juta kubik per detik, maka bukan tidak mungkin itu menjadi sumber benefit bagi perusahaan, sekaligus menjadi solusi untuk mitigasi bencana di bandara NYIA.
Mitigasi versi Pemerintah
Pada kesempatan lain, Menteri Pehubungan (Menhub), Budi Karya Sumadi, usai menggelar rapat terbatas dengan PT KAI dan PT AP 1 di Bandara Internasional Adi Sudjipto Yogyakarta, 20 Januari 2019, mengklaim, kekhawatiran tentang potensi tsunami di dekat lokasi bandara baru, telah diantisipasi, dengan melibatkan tim ahli dari Jepang, ITB, dan UGM, dan menbuat bangunan kokoh dengan perhitungan saat gempa besar atau tsunami menerjang masih tetap berdiri, dan aman untuk evakuasi pengunjung bandara.
“Ketinggian floor to floornya 8 meter. Jadi Insya Allah tsunami itu sudah kami mitigasi, baik infrastruktur maupun bagaimana operasional bandara tetap bisa berjalan,” jelas Menhub.
Hal senada juga diungkapkan Project Manager Pembangunan Bandara NYIA, Taochid Purnomo Hadi, dengan merancang bangunan yang tahan gempa 8.8 SR dan tsunami dengan ketinggian 12 meter. Di samping juga pembangunan tsunami barrier yang menjadi kewenangannya Pemda, karena berada di luar area bandara. (Rep-02)