Ilustrasi (dok. ig kulon.progo)
KULON PROGO (kabarkota.com) – Proyek pembangunan Bandar Udara (Bandara) Yogyakarta International Airport (YIA) di Temon, Kulon Progo, DIY hingga kini masih dikebut untuk mencapai target penyelesaian maksimal awal tahun 2020 mendatang.
Project Manager Bandara YIA, Taochid Purnomo Hadi mengungkapkan, saat ini progres pembangunanya mencapai 57%. Sedangkan 43% bangunan yang belum terselesaikan adalah bagian terminal dan fly over.
“Minggu ini pekerjaan baru mulai setelah libur lebaran,” jelas Taochid saat dihubungi kabarkota.com, Senin (17/6/2019).
Terlepas dari progres pembangunan senilai Rp 10.5 Triliun tersebut, ada dinamika sosial, khususnya di kalangan warga terdampak. Pasalnya masih ada sebagian kecil pihak yang belum menyetujui “kehadiran” bandara baru di Kulon Progo hingga menempuh jalur hukum sebagai bentuk penolakan mereka.
Mereka adalah warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran – Kulon Progo (PWPP-KP) yang didampingi Tim Advokasi Peduli Lingkungan, dan Jaringan Solidaritas Teman Temon pada 29 Maret 2019 lalu mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung (MA) RI, terkait pasal 30 ayat 1 dan 2, serta lampiran v Peraturan Pemerintah (PP) No 13 Tahun 2017.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli menyatakan, ketika nanti permohonan tersebut dikabulkan, maka harapannya pembangunan bandara YIA yang sudah setengah jalan itu bisa dibatalkan, dengan pertimbangan dampak lingkungannya. Mengingat, kawasan yang digunakan untuk lokasi bandara YIA disebut sebagai kawasan rawan bencana gempa bumi dan tsunami.
Menanggapi adanya perlawanan hukum dari PWPP-KP itu, General Manager PT Angkasa Pura 1 (Persero) Yogyakarta, Agus Pandu Purnama menganggap, adanya penolakan sebagian pihak atas pembangunan bandara merupakan hal yang wajar terjadi.
Pihaknya juga menghargai adanya upaya hukum yang mereka tempuh dan siap tunduk pada hukum.
Hanya saja, terkait dengan pemohonan uji materiil ke MA yang pada ujungnya menginginkan pembatalan pembangunan bandara YIA, Pandu menegaskan, “Kami membangun bandara itu dengan IPL yang sudah inkracht peruntukannya. Itu juga sudah diputuskan oleh MA”.
Lebih lanjut, Pandu juga mengklaim bahwa pembangunan Bandara di Kulon Progo itu lebih untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Mengingat, kapasitas bandara Internasional Adisutjipto Yogyakarta yang hanya 1.8 juta, kepadatannya sudah melebihi kapasitas tersebut, dengan angka mencapai 8.4 juta per tahun pada 2018 lalu.
Dengan beroperasinya bandara YIA yang berkapasitas 14 juta, Pandu berharap, nantinya target 9 juta penumpang pesawat di Yogyakarta bisa tercapai pada tahun 2019 ini. Termasuk, target untuk mewujudkan DIY sebagai destinasi wisata utama, setelah Bali.
Tapi tak hanya masalah gugatan di MA, sebagian warga terdampak bandara yang sebelumnya menolak bandara, pada akhirnya sebagian ada yang menerima dana konsinyasi yang dititipkan PT Angkasa Pura I ke Pengadilan Negeri (PN) Wates.
Salah seorang warga PWPP-KP, Sofyan mengaku, pihaknya mendapatkan informasi bahwa dari sebagian warga yang dulunya menolak bandara, kini kesulitan untuk mencairkan dana tersebut.
“Saya tidak mengambil (dana konsinyasi) tapi dapat cerita itu (kesulitan pencairan dana konsinyasi),” ucapnya.
Menyikapi hal itu, Agus Pandu Purnama, mengatakan bahwa seluruh dana konsinyasi yang menjadi tanggung jawab PT Angkasa Pura 1 sesuai penghitungan Aprraisal, sudah dititipkan ke PN sehingga terkait masalah warga itu menjadi ranahnya PN Wates untuk menyelesaikan.
Namun pihaknya juga menegaskan, tak bisa memberi tambahan dana di luar penghitungan aprresial, tanpa ada payung hukum yang jelas.
Dihubungi terpisah, Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo menduga, bagi warga yang belum bisa mencairkan dana konsinyasi itu karena dua kemungkinan. Pertama, warga yang bersangkutan memang belum berkenan mengambilnya. Kedua, bisa jadi karena di internal keluarga mereka belum sependapat sehingga syarat-syarat pengambilan belum terpenuhi.
“Pemda membantu sepenuhnya untuk mengatasi kesulitan yang ada,” kata Hasto. (Rep-03)