YOGYAKARTA
(kabarkota.com) – Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM mensinyalir dalam
pembahasan RUU KUHAP oleh DPR ada indikasi melemahkan upaya dalam pemberantasan
korupsi. Buktinya, hukum materiil RUU belum selesai, tetapi hokum formalnya
sudah selesai.
Penegasan itu
disampaikan Hasrul Halili, direktur Pukat Korupsi UGM, Jumat (21/2).
Respon terhadap
pembahasan RUU KUHP dan KUHAP datang dari banyak pihak, termasuk KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) sendiri. Bahkan, lembaga ini pada Rabu (19/2) menyurati
presiden dan DPR untuk menunda pembahasan kedua RUU tersebut.
Menurut Halili, RUU yang
kini tengah dibahas berimplikasi sangat serius pada sistem peradilan yang sudah
dibentuk. Karena itu, pembahasannya tidak perlu tergesa-gesa. Jika dipaksakan, berpotensi
menghilangkan peran sejumlah lembaga yang selama ini mendukung upaya penegakan
hukum, seperti BNN dan PPATK.
“Lebih khusus, RUU tersebut
sangat bertentangan dengan pemberantasan korupsi,” tegasnya.
Meski ia mengatakan
bahwa revisi memang diperlukan, namun yang dilakukan DPR saat ini bukannya memperkuat
lembaga penegakan hukum tetapi justru memperlemah.
Sedangkan menurut Oce
Madril, direktur advokasi Pukat Korupsi, kendati revisi merupakan keharusan,
namun sebaiknya dihentikan dulu. Terlebih, posisi anggota DPR sudah mulai
disibukkan dengan kegiatan kampanye.
“Jangan sampai
penumpang gelap menyusup,” ingat Oce.
Sahlan Said, mantan
hakim, membeberkan, dalam proses revisi ini sangat jelas ada intervensi sejumlah
anggota DPR dari partai yang kadernya banyak tersandung kasus korupsi.
Akibatnya, elektabilitas partai merosot tajam.
Apabila revisi dipaksakan
menjadi UU, bisa dipastikan pemberantasan korupsi akan melemah. “Dengan
undang-undang yang ada sekarang saja sudah demikian payah,” pungkas Sahlan.
(tya)
TAUFIQ BUDI RAHARJO
Rekomendasi KPK
kepada presiden dan DPR
1) Pemerintah dan DPR
menunda pembahasan kedua RUU tersebut.
2) Delik korupsi dan
delik luar biasa lainnya tetap diatur dengan UU tersendiri sebagaimana yang
berlaku saat ini.
3) RUU KUHAP sebagai hukum
pidana formil sebaiknya dibahas setelah dilakukan pembahasan atas RUU KUHP
sebagai hukum pidana materiil.
4) Pemberlakuan kedua
RUU tersebut diberikan masa transisi minimal tiga tahun sebagai masa transisi
untuk menyesuaikan RUU Tipikor dan UU lainyang terkait.