Indonesian Youth Summit 2015 di UGM, Selasa (27/10). (Sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Maraknya intoleransi yang selama ini terjadi tidak lepas dari adanya narasi mengenai kelompok-kelompok yang berbeda sehingga memicu konflik. Selain itu juga, keterbatasan dalam mengelola konflik sehingga reaksi yang muncul cenderung bersifat kemarahan yang destruktif.
Hal itu terungkap dalam paparan Hardya Pranadipa dari Search for Common Ground saat berbicara dalam Indonesian Youth Summit 2015 di UGM, Selasa (27/10).
Menurutnya, selama ini, belum ada proses critival thinking dalam memaknai sesuatu, khususnya di kalangan pemuda. Meski pun, di sisi lain sebenarnya pemuda memiliki kreativitas dalam mengelola gerakan, dan melakukan pendekatan transformatif terhadap konflik.
Karenanya, pihaknya tengah berfokus pada pembangunan kapasitas, dengan menekankan bahwa sesungguhnya konflik itu sebagai hal yang normal terjadi.
Selain itu juga mendorong anak muda di kampus-kampus untuk membuat karya berupa video, film atau sejenisnya untuk mendorong orang agat bisa memaknai permasalahan itu dengan versi baru.
Sementara Dosen Fisipol UGMN Hakimul Ikhwan yang turut menjadi pembicara dalam forum tersebut berpendapat bahwa semestinya kampus mampu mengambil peran penting guna turut mengatasi situasi seperti ini.
"Tidak hanya orasi-orasi yang searah tetapi bagaimana kampus bisa mengambil sikap sebagai tempat untuk berbagi dengan berbafi kelompok itu," kata Ikhwan. Mengingat, hal itu tidak pernah terjadi di ruang akademik.
Wahyu Effendy dari Gerakan Perjuangan Anti Diskrimnasi (Gandi) juga menganggap, selama ini publik cenderung hidup dalam prasangka-prasangka primodial antar kelompok, sehungga diperlukan dialog yang terus-menerus, dengan melibatkan peran dari masyarakat beserta tokoh-tokohnya.
SUTRIYATI