Ilustrasi (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Setiap kali menyebut kata Klitih, maka yang terlintas di benak tak akan jauh-jauh dari aksi kekerasan, baik itu tawuran ataupun pembacokan yang dilakukan oleh gerombolan geng motor di Yogyakarta. Umumnya mereka masih usia pelajar.
Maraknya aksi kekerasan remaja yang meresahkan ini membuat istilah klitih makin familiar di telinga masyarakat. Namun agaknya belum banyak yang tahu tentang sejarah “lahirnya” klitih di Yogyakarta.
Menurut sejarawan UGM, Julianto Ibrahim, klitih sebenarnya hanya salah satu istilah yang dipakai dalam geng sekolah. Karena di Yogyakarta, maka mereka menggunakan istilah-istilah yang melekat dengan mereka.
“Klitih adalah konvoi memutari kota yang biasanya sengaja melewati markas geng musuh, yang bertujuan untuk terciptanya tawuran,” jelas Julianto saat memaparkan materi seminar tentang Klitih, di UGM, 12 Juli 2018.
Fenomena klitih ini tak lepas dari “budaya” kekerasan yang telah berlangsung lama dan dilakukan oleh kaum-kaum kriminal pada masa lalu. Berawal dari Jagoan Grayak yang muncul di era 1945-1955. Pada masa revolusi kemerdekaan ini, ada hubungan simbiosis mutualisme antara kaum kriminal dengan penyelenggara Negara dan kekuatan politik.
“Kaum nasionalis melihat para jagoan itu orang yang pandai berkelahi, jagoan, dan ditakuti. Sedangkan jagoan melihat kerjasama dengan kaum nasionalis sebagai peluang untuk mendapatkan keuntungan dan masa depan yang lebih baik,” jelas Julianto.
Dari situ bermunculanlah aksi-aksi jagoan di berbagai daerah. Salah satunya, jagoan Grayak ini. Namun, pamor jagoan Grayak padam di tahun 1955, seiring dengan ditumpasnya gerakan MMC yang dianggap sebagai pemberontak Negara.
Kemudian pada awal Orde Baru (Orba), yakni sekitar tahun 1965 hingga tahun 1984, terbentuk yang namanya Gabungan Anak Liar atau lebih akrab dikenal dengan sebutan Gali. Anggota gali ini pada masa itu adalah anak-anak orang kaya dan anak pejabat yang sedang mencari identitas diri dan mereka membentuk geng-geng motor.
“Gali ini sebenarnya muncul sebagai protes pembangunan yang hanya mementingkan fisik bukan hati, keluarga yang tidak peduli tapi kehendaknya harus dituruti, sehingga “rumah” yang nyaman bagi mereka adalah jalanan,” paparnya lagi.
Di Yogyakarta sendiri, fenomena gali pada tahun 1980 sangat meresahkan masyarakat, dengan aksi-aksi kriminalnya. Puncaknya adalah kematian putra dari Komandan Kodim 0734, Muhammad Hasbi, di selokan Mataram. Akibatnya, Muhammad Hasbi melakukan penumpasan gali di Yogyakarta yang kemudian meluas ke seluruh Indonesia, dengan nama Operasi Penumpasan Kejahatan (OPK) atau juga Penembakan Misterius (Petrus).
“Menariknya, dengan pemberantasan gali yang dimulai tahun 1982 hingga akhir 1983 atau awal tahun 1984, “dunia gelap” di Yogyakarta ini tidak ada tuannya. Lalu muncullah anak-anak kecil yang membuat geng-geng,” kata Julianto.
Di Kauman misalnya, pada tahun 1984 – 1995, ada yang namanya Joxzin yang bermarkas di pojok dekat benteng. Itu pula awal nama Joxzin merupakan kepanjangan dari Pojok Bensin, sebelum kemudian berganti menjadi Jaka Sinting. Basis geng ini di Yogya selatan, di Kotagede, Karangkajen, dan sekitarnya. Geng terbesar lainnya adalah Qzruh yang mulai aktif tahun 1985 – 1995. Qizruh yang bermarkas di Yogya sisi utara ini menjadi musuh bagi Joxzin.
Sejak dua geng besar itu tak ada, sebagian anggotanya berafiliasi ?engan partai politik. Joxzin masuk ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan kemudian bermetamorfosis menjadi Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK). Sementara Qzruh dirangkul oleh Partai Golkar, yang kemudian terbentuk Pemuda Pancasila.
Setelah keduanya tak aktif lagi, sejak awal tahun 1994, geng-geng sekolah mulai marak, hingga tawuran antarsekolah sering terjadi. Hanya saja pada tahun 2004, ketika awal pelaksanaan Ujian Nasional (UN), banyak siswa yang tidak lulus sehingga sekolah-sekolah melakukan penambahan jam belajar siswanya, dengan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler. Sementara anak-anak yang masih suka “berkeliaran” di jalanan, mulai kesulitan menemukan musuh mereka.
“Itu kenapa kemudian klitih menjadikan siapa saja sebagai sasaran,” ucapnya. (Sutriyati)