SLEMAN (kabarkota.com) – Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Listyo Sigit Prabowo menilai, jaga warga merupakan bagian dari warisan kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat yang sudah ada sejak dulu dan terus ditumbuh-kembangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hal tersebut sebagaimana disampaikan Kapolri saat konferensi pers, usai mengikuti Apel Srawung Agung Kelompok Jaga Warga untuk Jogja Damai di Markas Polda (Mapolda) DIY, pada Jumat (21/11/205).
Kapolri mengaku, pihaknya tidak bisa bekerja sendiri dalam menjaga keteraturan sosial sehingga perlu keterlibatan masyarakat dengan mengedepankan kearifan lokal yang terkadang justru mampu menyelesaikan masalah.
“Kegiatan ini adalah simbolisasi dari bersatunya keterlibatan masyarakat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan untuk terlibat dalam hal peranata sosial dan keteraturan sosial,” kata Kapolri kepada wartawan.
Menurutnya, kolaborasi antara Polri dengan jaga warga ini menjadi kekuatan bersama untuk menjaga keteraturan sosial di DIY, dengan melakukan pendekatan yang mengedepankan kearifan lokal untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Misalnya, dengan bermusyawarah sebelum sampai ke ranah hukum.
“Kami berharap ke depan, kita bersama dapat mewujudkan masyarakat yang aman dan sejahtera,” ucapnya lagi.
Sultan: Jaga Warga punya Peran Strategis sebagai Jembatan Budaya
Sementara itu, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengungkapkan bahwa mulai tahun 2025 ini, jaga warga ditingkatkan hingga ke padukuhan. Mereka bersama kepolisian bisa menjaga keamanan dan kenyamanan di wilayah masing-masing.
“Ini merupakan bentuk partisipasi warga,” tegasnya. Partisipasi tersebut tidak hanya sekadar menaati aturan, tetapi juga berperan sebagai subjek yang turut menjaga keamanan dan kenyamanan masyarkat.
Dalam amanatnya saat Apel, Sultan juga menurutkan bahwa selama ini, masyarakat Jawa menempatkan tatanan sosial ideal, pada satu falsafah: “Tata, Tentrem, Kerta, Raharja.”
“Keteraturan yang dijalani dengan ketulusan akan melahirkan ketenteraman. Ketenteraman menumbuhkan daya juang, dan daya juang yang berkesinambungan akan menghadirkan kesejahteraan lahir batin,” jelas Sultan.
Nilai ini, sebut Sultan, sejalan dengan adagium Latin”salus populi suprema lex”, yakni keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
“Maka melalui Apel Besar Jaga Warga hari ini, kita sesungguhnya tengah merawat amanat besar itu, yakni mengukuhkan Yogyakarta sebagai ruang hidup bersama, dengan mengedepankan “manunggaling warga lan pamong” yang menjadi kekuatan moral dalam menjaga ketenteraman DIY,” paparnya di hadapan 1.000 personel jaga warga se-DIY.
Lebih lanjut Sultan menerangkan, guna menapaki tataran itu, maka setidaknya Polri dapat menerapkan Polri laku: “Tata, Titi, Tatas, Titis”, serangkaian proses yang bermakna perencanaan komprehensif; implementasi cermat dan konsisten; penyelesaian yang menyeluruh sesuai kaidah tata kelola; serta keluaran yang tepat sasaran, dan berorientasi manfaat publik.
Laku ini, kata Sultan, melengkapi harapan masyarakat agar Polri senantiasa menegakkan nilai-nilai “Catur Prasetya”, dengan kesadaran bahwa masyarakat adalah subjek yang wajib dilayani.
“Di sinilah peran strategis jaga warga. Ia menjadi jembatan budaya agar proses penegakan keamanan tidak serta-merta bertumpu pada tindakan represif, tetapi selalu dimulai dari kohesi, dialog, dan kebijaksanaan. Ini konsep keamanan semesta yang terwujud dari proses tanggap, tangguh, tuntas,” sambungnya.
Pada kesempatan tersebut, Sultan juga menyinggung tentang peristiwa demonstrasi di Mapolda DIY pada 29–30 Agustus lalu. Baginya, peristiwa itu menjadi cermin yang sangat jelas karena Yogyakarta berhasil melewati masa genting tersebut, dengan mengedepankan dialog, pendekatan kultural, dan sinergi antara Polri dan Jaga Warga.
Menurut Sultan, gema Gending Raja Manggala yang mengalun saat itu adalah sebuah penanda bahwa di tengah kegelisahan, masyarakat Yogyakarta tetap menghormati para demonstran sebagai warga yang menyuarakan harapan.
“Pada titik itulah negara harus hadir dengan kebijaksanaan. Dari sana pula kita belajar bahwa empati memang lebih ampuh daripada ledakan energi. Budaya lebih menenangkan daripada represi,” anggapnya.
Selain itu, menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru), Sultan berharap agar jaga warga terus menjadi pagar budaya yang menjaga harmoni, menjadi sahabat masyarakat, dan mitra Polri yang memperkuat keteduhan di tengah dinamika sosial. (Rep-01)







