YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Persyaratan terhadap penyandang disabilitas dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) memupus harapan anak berkebutuhan khusus, setidaknya di Yogyakarta. Hal itu terungkap dari pengakuan mahasiswa dan wali murid penyandang disabilitas dalam jumpa pers di Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (12/3).
Ninik, salah satu penyandang disabilitas mengaku, pada 1994 juga sempat menjadi korban diskriminasi ketika akan mengambil jurusan Bahasa Jerman di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). “Calon pendidik tidak boleh cacat fisik,” kenang Ninik. Kalaupun dibolehkan, katanya, masuknya di PLB (Pendidikan Luar Biasa).
“Saya menjadi nglokro (patah semangat),” ucapnya.
Akhirnya, ia mengambil jurusan Sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada (UGM), sesuai saran orangtuanya. “Malah lebih sulit belajar Bahasa Indonesia, karena saya tidak turn in,” kata Ninik sembari tersenyum.
Ia menganggap, diskriminasi dalam SNMPTN yang masih terjadi sampai saat ini merupakan bentuk kejahatan. Pada dasarnya, para penyandang disabilitas memiliki filter tersendiri ketika akan menentukan pilihan program studi.
Cerita lain datang dari Harta Nining Wijaya. Ia adalah wali murid dari anak berkebutuhan khusus, Laksmayshita Khanza Larasati Carita alias Sita, kini kelas III SMK Negeri 3 Kasihan, Bantul. Nining, sapaan ibu 40 tahun ini, sangat kecewa ketika putri tercintanya yang bercita-cita melanjutkan pendidikan di UNY terganjal persyaratan tidak boleh memiliki cacat fisik.
“Saya juga sakit hati ketika saya melihat itu. Saya tulis di FB dan saya tag ke Joni (SIGAB) dan Ro’fah (PLD UIN Sunan Kalijaga),” ungkap Nining hampir menangis.
Menurut Nining, persyaratan itu semestinya tidak diberlakukan. Pada dasarnya para penyandang disabilitas bisa melakukan apa saja. ”Yang terpenting adalah kesempatan,” tegas Nining.
Ahmad Tosirin Annessaburi atau Anneis, mahasiswa penyandang disabilitas di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, juga membagikan kisahnya selama dua semester belajar di jurusan Ilmu hukum. Masih ada sebagian dosen yang meragukan kemampuannya dalam mengikuti mata kuliah, terutama yang berkaitan dengan visualisasi.
“Mungkin panca indera saya kurang satu, tapi saya masih punya empat dan itu yang akan saya maksimalkan. Jadi jangan men-judge saya,” tegas Anneis.
Berkat kegigihannya, mahasiswa penyandang tuna netra ini justru mampu meraih IP tertinggi di kelasnya, dengan angka 3,89.
“Ini sebagai bukti bahwa difabel mampu selama diberi kesempatan. Jangan dicurigai bahwa kami tidak mampu,” tandas Annieis lagi.
Pendiri PLD UIN Sunan Kalijaga, Ro’fah Mudzakir, menyatakan bahwa yang berkembang di berbagai universitas hingga munculnya persyaratan diskriminatif tersebut adalah asumsi ketidakmampuan. Maka, untuk memenuhi kompetensi itu adalah dengan membuka kesempatan, serta melibatkannya dalam mencari solusi atas permasalahan mereka. (tya)
SUTRIYATI