YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Puluhan massa aksi dari berbagai elemen yang tergabung dalam Jogja Memanggil menggelar aksi unjuk rasa di sekitar Jalan Cik Ditiro Yogyakarta, pada Rabu (10/12/2025). Aksi kali ini bertepatan dengan momentum peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia.
Salah satu tuntutannya, Jogja Memanggil mendesak agar para pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan perusak lingkungan diadili.
Humas Aksi HAM 2025 Jogja Memanggil, Marsinah mengatakan, sejak rezim Soeharto hingga Prabowo – Gibran, ekploitaitasi Sumber Daya Alam (SDA). “Sejak zaman Soeharto hingga Prabowo, para elit politik memberikan konsesi besar kepada para konglomerat untuk mengekspoloitasi tanah,” tegasnya melalui siaran pers Jogja Memanggil, pada Rabu (10/12/2025).
Menurutnya, dari 53 juta hektar penguasaan atau pun pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah selama ini, hanya 2,7 juta hektar yang diperuntukan bagi rakyat. Sementara 94,8 persen lainnya untuk para Konglomerat. Bahkan, pada masa Orde Baru, perambahan hutan juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta, dengan berlandaskan Undang-Undang (UU) Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 sebagai permulaan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia.
Alhasil, ungkap Marsinah, para konglomerat global maupun nasional, yang sebagian diantaranya memiliki keterkaitan dengan institusi militer atau polisi, petinggi atau mantan petinggi militer dari kroninya kala itu membangun kerjasama dengan para konglomerat lokal untuk mengeksploitasi hutan, dengan keterlibatan para rimbawan yang sangat terbatas, dan hampir tidak melibatkan rakyat sipil.
Ditambah lagi, sebut Marsinah, reforma agraria yang diusung dalam UU Pokok Agraria (UU PA) tahun 1960 tidak berjalan sehingga tanah-tanah yang sudah dimiliki dan dikelola oleh kaum tani, justru kembali dikuasai oleh militer.
“Sejak semula, penerapan sistem konsesi hutan dan lahan yang berpihak pada kepentingan konglomerat dengan dukungan militer merupakan skenario politik kekuasaan menjaga dominasi kelas penguasa di satu sisi, tetapi mendatangkan “bencana-bencana” bagi rakyat di sisi lainnya,” anggapnya.
Pihaknya mencontohkan, bencana banjir dan tanah longsor yang menelan banyak korban jiwa, akibat kerusakan hutan di Sumatera Utara, baru-baru ini.
Selain itu, Jogja Memanggil juga menyesalkan tidak adanya keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di negeri ini. Alih-alih diadili, para elit politik dan pejabat tinggi yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut kini justru masih berada di lingkaran kekuasaan.
“Mereka tidak pernah bertanggung jawab atas semua kejahatan kemanusiaan dan kerusakan bangsa ini,” sesalnya.
Lebih lanjut pihaknya berpendapat bahwa akhir-akhir ini, represifitas negara untuk memberangus gerakan rakyat semakin menguat, dengan adanya berbagai produk hukum seperti UU TNI, UU Polri, RUU Siber, RKUHAP, UU KUHP, dan sebagainya.
“Kita berada dititik nadir demokrasi dan kemanusiaan,” tegasnya.
Namun demikian, Jogja memanggil menganggap hal tersebut tak bisa dibiarkan tanpa pertanggung-jawaban.
“Para pelanggar HAM itu harus diseret ke dalam bui. Begitu pun dengan pemilik modal, mereka lah yang harus bertanggung jawab atas kerusakan alam yang terjadi secara nasional,” serunya. (Ed-01)







