Kecewa tak Dilibatkan dalam PSN, Penyandang Disabilitas: Kami Ditinggal Jauh

Perhimpunan OHANA Indonesia menggelar konferensi pers tentang sikap mereka terhadap PSN pemerintahan baru, di Yogyakarta, pada 17 Juni 2025. (Dok. Kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Fitri Nugrahaningrum, seorang perempuan penyandang disabilitas netra yang aktif mendampingi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di bawah naungan Yayasan SAMARA di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Harapan besar untuk bisa berkontribusi dalam Program Strategis Nasional (PSN) seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih pupus oleh kenyataan bahwa komunitas disabilitas masih dipinggirkan dalam skema-skema pembangunan.

Bacaan Lainnya

“Awalnya kami sempat mendengar soal MBG dan pendataan UMKM. Karena desa belum tahu, kami ke Babinsa, lalu ke Koramil. Tapi mereka pun belum punya informasi. Sampai akhirnya kami dapat link pendaftaran sendiri,” tutur Fitri di Yogyakarta, pada 17 Juni 2025.

Sebagai organisasi yang bergerak dalam pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, Yayasan SAMARA aktif mendampingi pelaku UMKM penyandang disabilitas dan para ibu di lingkungan sekitarnya.

Oleh karenanya, Fitri berharap program MBG bisa menjadi dapur yang tidak hanya menyediakan gizi, tapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi kelompok disabilitas.

Namun realitas berkata lain. “Ternyata ini murni proyek bisnis dengan tender besar. Kami tak bisa mengaksesnya,” sesalnya. Padahal selama ini pihaknya juga mengelola koperasi inklusi

Kekecewaan serupa terjadi pada program Koperasi Desa Merah Putih (KDM). Ketika Fitri kembali ke kampung halamannya di Lombok Barat, ia mendapati para pelaku UMKM disabilitas tidak mendapatkan ruang untuk bergabung.

“Kami merasa dibuang. Tak ada regulasi yang mengikat. Desa dengan mudah menolak karena tak ada kewajiban,” tegasnya. Sebab, Pemerintah Desa (Pemdes) berdalih, mereka sedang berproses dan tidak ada perintah dari pusat untuk mengikutsertakan penyandang disabilitas.

Koperasi Inklusi yang Terabaikan

Lebih lanjut Fitri mempertanyakan nasib koperasi inklusi yang selama ini mereka perjuangka. “Apakah tidak ada upaya pemerintah untuk membantu kami mengembangkan koperasi ini? Kami ini juga Warga Negara Indonesia yang punya hak dan kewajiban yang sama.”

Menurutnya, janji “no one left behind” yang kerap dikumandangkan dalam wacana pembangunan, terasa begitu jauh dari kenyataan di lapangan.

Beruntung, ada Perhimpunan Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) Indonesia, jaringan advokasi disabilitas yang membantu komunitas disabilitas di daerah memahami berbagai isu pusat. “Tapi tetap saja kami selalu tertinggal informasinya. Kami memang dilibatkan dalam Musrenbang, tapi OPD bilang efisiensi anggaran memengaruhi realisasi program kami.”

Fitri berharap pemerintah pusat mengevaluasi efisiensi anggaran yang justru memukul kelompok rentan. “Prinsip no one left behind seharusnya benar-benar diterapkan,” pintanya

Efisiensi yang Menyisihkan

Perhimpunan OHANA Indonesia dari tujuh provinsi berkumpul di Yogyakarta, pada 17 Juni 2025. (Dok. Kabarkotq.com)

Koordinator Program Advokasi Perhimpunan OHANA Indonesia, Suryatiningsih Budi Lestari juga berpandangan bahwa sejumlah PSN yang digulirkan belum mengakomodasi penyandang disabilitas secara layak. “PSN itu belum menyentuh disabilitas. Kita perlu advokasi lewat RAN dan RAD Penyandang Disabilitas agar kewajiban negara benar-benar dijalankan,” ucapnya.

Ia mengingatkan bahwa hak asasi penyandang disabilitas belum terfasilitasi. Apalagi dengan kebijakan efisiensi yang drastis, seperti anggaran Komite Nasional Disabilitas (KND) yang dipotong dari miliaran rupiah menjadi hanya ratusan juta untuk mencakup seluruh Indonesia.

Dalam siaran pers jaringan advokasi disabilitas, disebutkan bahwa banyak proyek PSN yang tak memasukkan prinsip desain inklusif. Tidak adanya universal access, hingga partisipasi penyandang disabilitas yang hanya simbolik, menegaskan bahwa pembangunan masih belum berpihak.

Tuntutan dari Daerah

Organisasi penyandang disabilitas dari tujuh provinsi menyampaikan keprihatinan atas hilangnya program-program pendukung akibat prioritas PSN. Salah satu sorotan mereka adalah potensi dampak konsolidasi ekonomi melalui KDM yang bisa mengecualikan kelompok rentan, terutama perempuan disabilitas, anak disabilitas, masyarakat adat, dan mereka di daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T).

Mereka mendesak sejumlah hal, diantaranya: seluruh PSN diaudit dari sisi dampak terhadap kelompok rentan; program seperti KDM wajib melibatkan OPD dan berbasis inklusif; pengurangan Bantuan Sosial (Bansos) tidak serta-merta mencoret nama penyandang disabilitas dari data penerima; serta Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) penyandang disabilitas diintegrasikan dalam dokumen pembangunan dengan anggaran memadai.

Selain itu, mereka juga mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Komisi Pemberantasan Koripsi (KPK) mengawasi pelaksanaan PSN agar tidak melanggar hak-hak kelompok rentan. (Rep-01)

Pos terkait