YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Di tengah rencana beautifikasi Kawasan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta, suara perlawanan dari warga penghuni eks rumah dinas pekerja Kereta Api (KA) di depan Stasiun tersebut masih terdengar jelas. Meskipun, hanya tersisa satu warga yang masih bertahan dalam garis perjuangannya seja awal.
Awalnya, mereka kompak menolak tawaran kompensasi dari PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mengosongkan bangunan dan lahan yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. Namun seiring berjalannya waktu, opini demi opini dari berbagai pihak, termasuk dari Keraton Yogyakarta yang notabene sebagai pemilik tanah Sultan Ground (SG) di kawasan tersebut, membuat mereka berpikir ulang, antara tetap bertahan menolak kompensasi dari PT KAI dan uang bebungah dari Keraton atau menerimanya.
Pada akhirnya, setelah Surat Peringatan ketiga (SP 3) dari PT KAI agar segera mengosongkan bangunan-bangunan rumah peninggalan Belanda tersebut, hampir semua memilih untuk menerima tawaran kompensasi dan uang bebungah tersebut.
PT KAI menjanjikan, masing-masing rumah akan mendapatkan kompensasi berupa uang bongkar bangunan tambahan permanen senilai Rp 250 ribu/meter persegi atau Rp 200 ribu/meter persegi untuk bangunan semi permanen, uang transportasi untuk pengangkutan barang Rp 2,5 juta, dan uang untuk rumah singgah sebesar Rp 10 juta. Itu masih ditambah dengan bebungah dari Keraton Yogyakarta yang nilainya Rp 750 juta untuk 14 rumah atau sekitar Rp 53 juta per rumah.

Namun, dari total 14 rumah itu masih ada satu penghuni rumah yang memilih bertahan, belum menerima tawaran kompensasi dari PT KAI hingga batas akhir SP 3. Adalah Wisnu, warga Lempuyangan yang hingga kini masih menjadi simbol perlawanan tersebut. Lantaran, dirinya menganggap, PT KAI belum menunjukkan bukti kepemilikan atas bangunan yang ia tempati selama ini.
“Kalau dari PT KAI bisa menunjukkan semua yang kami minta, kami pergi, tidak masalah. Tapi kami juga penasaran, mana bukti-bukti kepemilikannya, kalau itu memang aset mereka,” tegas Wisnu pada 23 Juni 2025.
Wisnu menyebut, kontrak PT KAI dengan Netherland Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) itu berakhir tahun 1971. Artinya, ketika kontraknya sekarang telah selesai sehingga tidak seharusnya bangunan tersebut diklaim sebagai aset KAI.
Bagi Wisnu, penjelasan soal palilah dari Keraton yang diklaim telah diberikan kepada PT KAI juga tak pernah ia terima dalam bentuk fisik. Terlebih, pihak Panitikismo juga sempat mengakui bahwa tanah di titik itu belum bersertifikat sebagai SG.
Pendamping hukum warga Lempuyangan, Muhammad Rakha Ramadhan menyesalkan sikap PT KAI yang tidak kunjung menunjukkan dasar peraturan terkait besaran kompensasi. Padahal, itu menjadi hal paling mendasar. Ketidak-terbukaan informasi itu memicu ketidak-pastian hukum.
Juru Bicara (Jubir) Warga Lempuyangan, Fokki Ardiyanto juga menekankan bahwa masalah utamanya bukan pada uang, melainkan kepastian hukum. “Jangan sampai nanti di kemudian hari, ada persoalan hukum karena ketidaktahuan warga terhadap aturan itu,” tegasnya.
Alasan di Balik Kesediaan 13 Warga Lempuyangan mau Terima Kompensasi
Sementara warga Lempuyangan yang menerima kompensasi, Antonius Yosef Hendriutomo justru berdalih bahwa pada akhirnya, ia bersedia menerima kompensasi karena menyadari bahwa tanah yang mereka tempati selama ini bukan hak miliknya, meskipun selama ini warga telah mengantongi Surat Keterangan Tanah (SKT).

“Di SKT disebutkan bahwa tanah yang kami pakai adalah tanah Sultan Ground,” ungkap Ketua RW 01, Kelurahan Bausasran, Kemantren Danurejan, Kota Yogyakarta ini, pada 22 Juni 2025.
Selain itu, lanjut Anton, rumah yang selama ini mereka tempati juga tidak dibangun oleh orang tuanya, melainkan didirikan oleh NIS. Di samping itu, opini dan statemen yang disampaikan pihak keraton, termasuk dari Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, dan putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi sudah jelas arahnya sehingga pihaknya memilih untuk mengambil langkah menerima tawaran kompensasi dan bebungah, dengan konsekuensi mereka harus mengosongkan bangunan maksimal hingga 31 Juli 2025 mendatang.
Anton bersama tujuh warga lainnya termasuk kloter pertama yang menandatangani kesepakatan dengan PT KAI, pada 16 Juni lalu. Disusul 5 warga lainnya, pada kloter kedua. Kompensasi akan diberikan dalam dua termin, yakni termin pertama satu minggu setelah penanda-tanganan kesepakatan sebesar 50 persen. Sedangkan 50 persen sisanya akan dibayarkan setelah rumah dikosongkan pada 31 Juli mendatang. Di waktu yang sama, mereka juga akan menerima bebungah dari Keraton Yogyakarta untuk dibagi 14 rumah secara merata.
“Kalau pun nanti yang mau menerima itu hanya 13 rumah… uang tersebut tetap dibagi 14 sehingga masing-masing rumah mendapatkan sekitar Rp 53 juta,” sambungnya.
PT KAI dan Keraton Bersuara
Di lain pihak, Manajer Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Feni Novida Saragih mengklaim, pihaknya telah menjelaskan dasar dan dokumen yang mendasari penertiban, termasuk izin yang sudah diberikan oleh Keraton, melalui sosialisasi ke warga.
“Tanah di kawasan Stasiun Lempuyangan merupakan Sultan Ground, dan KAI sudah diberikan izin untuk mengelolanya,” anggapnya saat dikonfirmasi wartawan melalui pesan WA, pada 23 Juni 2025.
Terkait bukti kepemilikan sebagaimana yang diminta warga, Feni juga menyampaikan bahwa pihaknya telah memiliki bukti dokumen surat izin dari keraton tersebut dan sudah ditunjukkan pula saat sosialisasi. Sedangkan untuk bukti dokumen kepemilikan tanah, itu ranahnya keraton karena tanah SG.

Sebelumnya, pada 19 Juni 2025 lalu, Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X pada intinya telah menyampaikan bahwa kompensasi itu urusan PT KAI dengan warga, karena rumah dinas itu statusnya milik KAI. Hanya saja, kespakataan ganti rugi sudah ada, tinggal waktu penyelesaiannya. (Rep-01)