Ketika Tragedi 65 Sulit Dinarasikan di Ruang Publik

Ilustrasi (itoday.co.id)

SLEMAN (kabarkota.com) – Bagaimana cara menampilkan tragedi ‘65 dalam narasi yang tepat di ruang publik? Sampai dengan saat ini, para aktivis dan senman maupun akaemisi yang ingin memperjuangkan para korban tragedi 65 yang hingga kini masih ada.

Bacaan Lainnya

Elisabeth Ida Mulyani, seniman, fotografer, dan sutradara yang bergiat di isu-isu ’65 menilai, narasi yang dibangun oleh Orde Baru (Orba) sangat kuat  merasuk ke lapisan kebudayaan di masyarakat, karena menggunakan semua instrumen negara yang ada.

“Tidak mudah untuk menandingi narasi dominan yang telah ada itu,” kata Elisabeth dalam diskusi terbuka Karya Visual Sebagai Ruang Alternatif Narasi ‘65, di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat (29/1/2016).

Ia mencontohkan, peluncuran film ‘Penghiatan G30S/PKI’ yang dirilis pada masa Orba dengan frontal telah  melancarkan doktrinasi ideologis. 

“Apa yang telah terjadi pada generasi saat ini yang tidak melihat langsung tragedi ’65, adalah kekerasan budaya. Melalui bidang-bidang simbolis, kita dikondisikan takut untuk berbeda dalam banyak hal. Takut untuk mengemukakan pendapat. Semua telah dibuat serupa dan seragam,” anggapnya.

Elisabeth berpendapat, diperlukan ruang-ruang alternatif yang mampu memberikan perspektif berbeda dalam memaknai tragedi 65. Pertama, menurutnya,  harus  memahami konstruksi narasi dominan yang selama ini berlangsung. Selanjutnya, dengan mendekonstruksi atau membongkar konstruksi yang sudah mengakar selama 50 tahun. Tersebut.

“Ketiga adalah merekonstruksi ulang, atau memerdekakan diri dari kekerasan budaya yang telah dialami,” sebut Elisabeth.

Sementara itu, Dyah Pitaloka, dari National University Of Singapore cenderung mengkritik apa yang selama ini sering dilakukan oleh para aktivis 65. Ia menganggap, telah terjadi perampasan ruang oleh mereka, yang seharusnya menjadi hak korban dan keturunannya.

“Selama ini, orang-orang yang bersentuhan langsung tIdak pernah ditanya bagaimana ia ingin menampilkan narasi tersebut kepada banyak orang,” ujar Dyah.

Karenanya, ia menyarankan agar proses pembuatan narasi dapat dilakukan dengan cara berdialog langsung dengan para partisipan tentang bagaimana seharusnya itu dimunculkan ke publik.

“Tidak semua konflik itu menyeramkan. Ada saat-saat dimana mereka (orang yang mengalaminya) berbahagia dengan kondisi-kondisi yang tidak pernah kita duga. Kondisi itulah yang mungkin bias kita lihat,” katanya. (Rep-03)

Kontributor: Januardi

Pos terkait